MEMBUAT INDONESIA TERPECAH BELAH
Ada 5 faktor besar yang menjadi
penyebab terpecah belahnya suatu bangsa yakni Ketidakpedulian, Ketidakmampuan,
Kerakusan, Praktek Pembodohan dan Gerakan Penghancuran. Dampak dari kelima
faktor tersebut merupakan bias sehingga secara otomatis memunculkan kejahatan
Korupsi, Narkotika, Teroris, dan sebagainya.
Anehnya, mayoritas rakyat Indonesia
terkesan selalu mampu dibuat ‘Tertidur’ dan ‘Terbius’ dengan stigma SARA (Suku,
Agama, Ras, & Antargolongan) yang memiliki efek hukum nyata, sehingga tak
mampu berbuat banyak dalam aspek gerakan rakyat.
Kompleksitas faktor-faktor penghancur
bangsa yang memiliki sebab-akibat itu justru sering dimanfaatkan oleh para
tokoh dan oknum-oknum pejabat bermental bobrok dengan berkonspirasi bersama
para mafia dan konglomerat hitam dalam hal memanfaatkan moment Korupsi yang
menggurita.
Selama ini faktor penyebab kehancuran
bangsa itu tidak pernah terpikirkan oleh para aktor pemain di birokrasi
Indonesia, bahkan fenomena Ketidakpedulian, Ketidakmampuan, Kerakusan, Praktek
Pembodohan dan Gerakan Penghancuran mulai mengalir di tubuh sejumlah Anggota
Dewan, Kejaksaan, Kepolisian, Kehakiman, para Tokoh Politik dan Pejabat
lainnya.
Fenomena yang belakangan ini muncul,
malah banyak tokoh dan pejabat tersebut di atas hanya selalu memikirkan
kepentingan pribadi maupun kelompoknya. Ekspektasi masyarakat awam untuk
Indonesia sejahtera selalu hanya menjadi angan-angan belaka, apalagi ketika
melihat eskalasi politik di negeri ini yang mulai meruncing dan penuh
gonjang-ganjing.
Para tokoh itu terkesan tidak pernah
berniat tulus untuk memikirkan kepentingan rakyat banyak, tapi hanya terlena
dengan kepentingan duniawi. Banyak tokoh dan pejabat hanya memikirkan
keuntungan dan berupaya memperkaya diri sendiri sebanyak-banyaknya.
Padahal, kondisi dan penderitaan
rakyat Indonesia sebagai pemilik negeri yang kaya raya ini mulai menjerit
akibat krisis multi dimensi akibat ulah kotor dari sejumlah elit negeri ini
yang dimulai dari masa pemerintahan atau rezim Soeharto yang dikenal cukup
bersensasi itu.
Akibat penataan pemerintahan yang
sejak duhulu dinilai salah urus ini sehingga dampak globalnya kini dirasakan
saat ini oleh seluruh rakyat Indonesia. Tahukah kita kalau saat ini Indonesia
memiliki hutang sebesar Rp166,67 Triliun??? Hutang itu harus dibayar dan kita
tanggung bersama.
Bayangkan saja, akibat hutang yang
sangat luar biasa tersebut, maka mulai dari anak dan cucu kita yang begitu
dilahirkan wajib dan harus langsung ikut membayar beban hutang tersebut.
Mengapa hutang Indonesia bisa
mencapai Rp166,67 Triliun??? Dan hutang ini diyakini bakal terus bertambah
lagi. Padahal tak dapat dipungkiri Indonesia dikenal sebagai negara super kaya,
kaya akan sumber daya alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM) nya.
Pertanyaannya, kemana saja hasil
kekayaan SDA dan SDM bangsa dan negara Indonesia selama ini??? Siapa saja yang
telah menyelewengkan dan menggerogoti uang rakyat itu???
Sekedar ilustrasi, bila bangsa ini
tidak memiliki hutang kepada negara lain dan lembaga asing, maka tidak akan ada
orang miskin, gelandangan, pengemis, tukang bangunan, tukang becak, dan tidak
akan ada rumah gubuk, kelaparan, serta tidak akan ada perampokan, dan
pencurian.
Bagaimana orang bisa miskin kalau
negaranya menjamin kehidupannya, bagaimana bisa ada gelandangan, pengemis,
tukang, rumah gubuk, kelaparan, perampokan, dan pencurian kalau negara
bertanggungjawab penuh dan melaksanakan dengan seutuhnya Pasal 33 UUD 1945???
Sejak masa pemerintahan mantan
presiden Soeharto, negeri ini sudah ditata dengan managemen yang salah kaprah,
di era orde baru itu korupsi merajalela. Oligarki Soeharto yang dikenal korup
itu membuat sebahagian besar rakyat akhirnya mulai menaruh rasa benci.
Di era Soeharto, negara Indonesia
mengalami krisis keuangan yang begitu terasa, hal ini diyakini disebabkan
karena di zaman pemerintahan Soeharto itu para mafia dan konglomerat hitam
tumbuh subur ibarat jamur di musim penghujan.
Di tahun keempat masa
pemerintahannya, Soeharto tidak melakukan prinsip Rule of Law, masa ini kondisi
bangsa ini mulai diguncang krisis, sehingga dimana-mana kredibelitas Soeharto
mulai menjadi bahan perbincangan miring soal pemerintahannya bersifat Oligarki,
Nekolim, Neolib dan Nepotisme itu.
Begitu juga dengan suara Golkar
sebagai partai pendukungnya mulai merosot tajam, Soeharto saat itu dituding
telah melakukan sistim kerajaan partai (imperialisme partai) dengan terkesan
memaksakan dirinya untuk terus tetap dipilih sebagai orang nomor satu di
Indonesia.
Semua itu ternyata mampu
termanifestasikan secara baik, dengan terpilihnya kembali Soeharto sebagai
presiden pada periode berikutnya. Namun masa periode berikutnya itu suasana di
dalam negeri mulai goyang. Rakyat yang mulai tak betah dengan situasi politik
dan krisis ekonomi mulai secara terang-terangan melawan.
Demonstrasi rakyat mulai terjadi di
sejumlah daerah, dan puncaknya terjadinya peristiwa berdarah Mei 1998. Soeharto
ditumbangkan rakyat dan cara-cara menyedihkan. Sehingga jatuhlah rezim
Soeharto, dan pucuk pemerintahan di negeri ini secara berturut-turut digantikan
oleh BJ Habibie, Gusdur dan Megawati Soekarnoputri, serta kini Soesilo Bambang
Yudhoyono (SBY).
BJ Habibie, Gusdur, Megawati
Soekarnoputri, dan SBY hanyalah menjadi sebuah sosok yang harus bekerja ektra
keras untuk menata kembali pemerintahan yang sudah lama menjadi Bom Waktu
akibat hutang negara yang ditinggalkan rezim Soeharto itu.
Namun, seharusnya bila pemimpin
negeri setelah tumbangnya rezim Soeharto mampu berbuat banyak, maka Indonesia
mampu pula terlepas dari lilitan hutang yang besar itu, dan tidak ketinggalan
dengan negara tetangga Malaysia maupun Singapura yang saat ini jauh lebih baik
dan maju.
Siapa yang salah dan telah memilih
para pemimpin korup dan rakus itu?? Aku, Kau, Kita ataukah Dia??? Namun, tak
usah lah kita saling menyalahkan. Biarlah yang lalu menjadi sebuah mimpi buruk.
Tidak ada istilah terlambat bila kita
sejak saat ini dan ke depan tidak diam, tidak membisu, tidak takut, tidak mau
dibodoh-bodohi secara terus-menerus oleh kekuasaan absolut yang merajalela itu.
Karena meskipun hutang Indonesia
besar, kita masih bisa membangun negeri ini menjadi sebuah negara besar dan
berjaya di masa mendatang, asalkan kita semua mau bergandengan tangan untuk
Indonesia yang jauh lebih baik.
Bila para tokoh, para elit dan
segenap bangsa Indonesia lainya sadar dan sadar, maka mari kita tanamkan jiwa
nasionalisme demi masa depan bangsa dan generasi muda ke depan. Buanglah sifat
Egosentris, Ambisius, dan Kepentingan Kelompok.
No comments :
Post a Comment