KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat,
Inayah, Taufik dan Hinayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan
makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga
makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun
pedoman bagi pembaca.
Harapan saya
semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para
pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga
kedepannya dapat lebih baik.
Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami miliki sangat kurang. Oleh kerena itu saya harapkan
kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun
untuk kesempurnaan makalah ini.
Nanga
Pinoh, September 2014
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................................................... i
DAFTAR ISI......................................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah......................................................................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan........................................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
1. Kedudukan Hadist Sebagai Sumber
Hukum Islam.......................................................................... 2
2. Hubungan Al-Hadist dengan Al-Qur’an......................................................................................... 3
3. Al – Hadist Dalam Menentukan Hukum......................................................................................... 4
4. Nabi Muhammad Sebagai Sandaran
Hadist................................................................................... 5
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan.................................................................................................................................. 7
B. Saran............................................................................................................................................ 7
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................................ 8
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG MASALAH
Sunnah adalah sumber hukum Islam
(pedoman hidup kaum Muslimin) yang kedua setelah Al-Qur’an. Bagi mereka yang
telah beriman terhadap Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam, maka secara
otomatis harus percaya bahwa Sunnah juga merupakan sumber hukum Islam. Bagi
mereka yang menolak kebenaran Sunnah sebagai sumber hukum Islam, bukan saja
memperoleh dosa, tetapi juga murtad hukumnya. Ayat-ayat Al-Qur’an sendiri telah
cukup menjadi alasan yang pasti tentang kebenaran Al-Hadits. Namun, kita juga
perlu mengetahui sejauh mana kedudukan hadist sebagai sumber hukum. Untuk lebih
jelasnya mengenai kedudukan hadist sebagai sumber hukum akan dijelaskan pada
bab berikutnya
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimanakah kedudukan hadist
sebagai sumber hukum?
2.
Apakah semua perbuatan yang
dilakukan oleh rasul dapat dijadikan sebagai sumber hukum?
3.
Sebutkan contoh perbuatan yang haram
bagi Rasul namun sunah bagi umatnya?
C.
TUJUAN PENULISAN
Tujuan penulisan makalah ini adalah
untuk mengetahui :
1.
Kedudukan Hadist sebagai sumber
hukum
2.
Mengetahui hubungan hadist dengan Al
– Qur’an.
3.
Dasar hadits sebagai salah satu
sumber hukum.
BAB II
PEMABAHASAN
1.
KEDUDUKAN HADIST SEBAGAI SUMBER HUKUM
Sunnah adalah sumber hukum Islam
(pedoman hidup kaum Muslimin) yang kedua setelah Al-Qur’an. Bagi mereka yang
telah beriman terhadap Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam, maka secara
otomatis harus percaya bahwa Sunnah juga merupakan sumber hukum Islam. Bagi
mereka yang menolak kebenaran Sunnah sebagai sumber hukum Islam, bukan saja
memperoleh dosa, tetapi juga murtad hukumnya. Ayat-ayat Al-Qur’an sendiri telah
cukup menjadi alasan yang pasti tentang kebenaran Al-Hadits, ini sebagai sumber
hukum Islam.
Untuk mengetahui sejauh mana
kedudukan hadist sebagai sumber hukum Islam, dapat dilihat dalam beberapa dalil
seperti dibawah ini :
A. AL – QUR’AN
Banyak ayat Al – Qur’an yang menerangkan
memparcayai dan menerima segala sesuatu yang disampaikan oleh Rasulullah SAW.
Kepada umatnya untuk dijadikan pedoman hidup. Diantaranya adalah : Ali Imran
yang artinya “Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang mukmin
seperti keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia memisahkan yang buruk (munafik)
dari yang baik (mukmin). Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada
kamu hal-hal yang gaib, akan tetapi, Allah akan memilih siapa yang
dikehendaki-Nya diantara Rasul-Rasulnya. Karena itu, berimanlah kepada Allah
dan Rasul-Rasul-Nya dan jika kamu beriman dan bertaqwa, maka bagimu pahala yang
besar.”
Dalam surat An-Nisa ayat 136 Allah
SWT. Berfirman, yang artinya sebagai berikut “Wahai orang-orang yang
beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang
allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta Kitab yang Allah turunkan sebelumnya.
Bagi siapa yang kafir kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Rasul-Rasulnya, dan
hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya”.
Dalam surat Ali Imran diatas,
Allah memisahkan antara orang-orang mukmin dengan orang-orang yang munafik. Dia
juga akan memperbaiki keadaan orang-orang mukmin dan memperkuat iman mereka.
Oleh karena itu, orang mukmin dituntut agar tetap beriman kepada Allah SWT. Dan
Rasul-Nya.
Pada surat An-Nisa ayat 136,
sebagaimana halnya pada surat Ali Imran ayat 179, Allah menyeru kaum muslimin
agar beriman kepada Allah, Rasul-Nya (Muhammad SAW), Alqur’an, dan kitab yang
diturunkan sebelumnya. Kemudian pada akhir ayat, Allah SWT. Mengancam
orang-orang yang mengingkari seruan-Nya.
Selain memerintahkan umatr Islam
agar percaya kepada Rasulullah SAW, Allah juga menyerukan agar umat-Nya menaati
segala bentuk perundang-undangan dan peraturan yang dibawanya, baik berupa
perintah maupun larangan, Tuntutan taat dan patuh kepada Rasulullah SAW.
B. DALIL AL-HADIST
Dalam salah satu pesan Rasulullah SAW.
Berkenaan dengan kewajiban menjadikan hadist sebagai pedoman hidup di samping
Al- Qur’an sebagai pedoman utamanya, adalah dalam sabdanya :
Artinya :
“Aku tinggalkan dua pusaka
untukmu sekalian, dan kalian tidak akan tersesat selama-lamanya, selama kalian
selalu berpegang teguh kepada keduanya, yaitu kitab Allah dan Sunah Rasul-Nya.”
(H.R Hakim)
Hadist tersebut diatas, menunjukan
kepada kita bahwa berpegang teguh kepada hadist atau menjadikan hadist, sebagai
pegangan dan pedoman hidup adalah wajib, sebagaimana wajibnya berpegang teguh
kepada Al-Qur’an.
C. KESEPAKATAN ULAMA (IJMA’)
Umat Islam telah sepakat menjadikan
Hadist sebagai salah satu dasar hukum dalam amal perbuatan karena sesuai dengan
yang dikehendakinya oleh Allah. Penerimaan hadist sama seperti penerimaan
mereka terhadap Al-Qur’an, karena keduanya sama-sama merupakan sumber hukum
Islam.
Kesepakatan umat muslimin dalam
mempercayai, menerima, dan mengamalkan segala ketentuan yang terkandung didalam
hadist telah dilakukan sejak masa Rasulullah, sepeninggal beliau, masa
Khulafaur Ar-Rasyidin hingga masa-masa
selanjutnya dan tidak ada yang mengingkarinya. Banyak di antara mereka yang
tidak hanya memahami dan mengamalkan isi kandunganya, tetapi menyebarluaskanya
kepada generasi-generasi selanjutnya.
Banyak peristiwa menunjukan adanya
kesepakatan menggunakan hadist sebagai sumber hukum Islam, antara lain dalam
peristiwa dibawah ini:
1.
Ketika Abu Bakar menjadi Khalifah, ia pernah berkata, “Saya
tidak meninggalkan sedikitpun sesuatu yang diamalkan oleh Rasulullah,
sesungguhnya saya takut tersesat bila meninggalkan perintahnya”.
2.
Saat Umar berada di depan Hajar Aswad ia berkata, Saya
tahu bahwa engkau adalah batu. Seandainya saya tidak melihat Rasulullah
menciumu, saya tidak akan menciumu.”
3.
Pernah ditanyakan kepada Abdullah bin Umar tentang ketentuan
shalat safar dalam Al-Qur’an. Ibnu Umar menjawab, “Allah SWT. Telah mengutus
Nabi Muhammad SAW. Kepada kita dan kita tidak mengetahui sesuatu. Maka
sesungguhnya kami berbuat sebagaimana kami melihat Rasulullah berbuat. “
4.
Diceritakan dari Sa’id bin Musayab bahwa Usman bin Affan
berkata “Saya duduk sebagaimana duduknya Rasulullah SAW. Saya makan
sebagaimana Shalatnya Rasulullah SAW.”
Masih banyak lagi contoh-contoh yang
menunjukan bahwa apa yang diperintahkan, dilakukan, dan diserukan oleh
Rasulullah SAW. Selalu diikuti oleh Umatnya dan apa yang dilarang selalu
ditinggalkan oleh mereka.
D. SESUAI DENGAN PETUNJUK AKAL
(IJTIHAD)
Kerasulan Nabi Muhammad SAW telah
diakui dan dibenarkan oleh umat Islam. Didalam mengemban misinya itu kadangkala
beliau menyampaikan apa yang diterimanya dari Allah SWT, baik isi maupun
formulasinya dan kadangkala atas inisiatif sendiri dengan bimbingan wahyu dari
Tuhan. Namun juga, tidak jarang beliau menawarkan hasil Ijtihad semata-mata
mengenai suatu masalah yang tidak dibimbing oleh wahyu. Hasil ijtihad beliau
ini tetap berlaku sampai ada nash yang menaskahkan.
Bila Kerasulan Muhammad telah diakui
dan dibenarkan, maka sudah selayaknya apabila segala peraturan dan
perundang-undangan serta inisiatif beliau, baik yang beliau ciptakan atas
bimbingan pedoman hidup. Disamping itu, secara logika kepercayaan kepada
Muhammad SAW sebagai Rasul mengharuskan umatnya menaati dan mengamalkan segala
ketentuan yang beliau sampaikan.
Dari uraian diatas, dapat diketahui
bahwa hadist merupakan salah satu sumber hukum dan sumber ajaran Islam yang
menduduki urutan kedua setelah Al-qur’an. Sedangkan bila dilihat dari segi
kehujjahan hadist melahirkan hukum Zhann, kecuali hadist yang mutawatir.
Alasan lain mengapa umat Islam
berpegang pada hadits karena selain memang di perintahkan oleh Al-Qur’an, juga
untuk memudahkan dalam menentukan (menghukumi) suatu perkara yang tidak
dibicarakan secara rinci atau sama sekali tidak dibicarakan di dalam Al Qur’an
sebagai sumber hukum utama. Apabila Sunnah tidak berfungsi sebagai sumber
hukum, maka kaum Muslimin akan mendapatkan kesulitan-kesulitan dalam berbagai
hal, seperti tata cara shalat, kadar dan ketentuan zakat, cara haji dan lain
sebagainya. Sebab ayat-ayat Al-Qur’an dalam hal ini tersebut hanya berbicara
secara global dan umum, dan yang menjelaskan secara terperinci justru Sunnah
Rasulullah. Selain itu juga akan mendapatkan kesukaran-kesukaran dalam hal
menafsirkan ayat-ayat yang musytarak (multi makna), muhtamal (mengandung makna
alternatif) dan sebagainya yang mau tidak mau memerlukan Sunnah untuk
menjelaskannya. Dan apabila penafsiran-penafsiran tersebut hanya didasarkan
kepada pertimbangan rasio (logika) sudah barang tentu akan melahirkan
tafsiran-tafsiran yang sangat subyektif dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
2.
HUBUNGAN AL-HADITS
DENGAN AL-QUR’AN
Dalam hubungan dengan Al-Qur’an,
maka As-Sunnah berfungsi sebagai penafsir, pensyarah, dan penjelas
daripada ayat-ayat tertentu. Apabila disimpulkan tentang fungsi As-Sunnah dalam
hubungan dengan Al-Qur’an itu adalah sebagai berikut :
1.
Bayan Tafsir,
Yaitu menerangkan ayat-ayat yang
sangat umum, mujmal dan musytarak. Seperti hadits : “Shallu kamaa ro-aitumuni
ushalli” (Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat) adalah merupakan
tafsiran daripada ayat Al-Qur’an yang umum, yaitu : “Aqimush-shalah” (Kerjakan
shalat). Demikian pula hadits: “Khudzu ‘anni manasikakum” (Ambillah dariku
perbuatan hajiku) adalah tafsir dari ayat Al-Qur’an “Waatimmulhajja” ( Dan
sempurnakanlah hajimu ).
Bayan Taqrir
Yaitu
As-Sunnah berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan Al-Qur’an. Seperti
hadits yang berbunyi: “Shoumu liru’yatihiwafthiru liru’yatihi” (Berpuasalah
karena melihat bulan dan berbukalah karena melihatnya) adalah memperkokoh ayat
Al-Qur’an dalam surat Al-Baqarah : 185.
Bayan Taudhih,
Yaitu menerangkan maksud dan tujuan sesuatu
ayat Al-Qur’an, seperti pernyataan Nabi : “Allah tidak mewajibkan zakat
melainkan supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah dizakati”, adalah
taudhih (penjelasan) terhadap ayat Al-Qur’an dalam surat at-Taubah: 34, yang
artinya sebagai berikut : “Dan orang-orang yang menyimpan mas dan perak
kemudian tidak membelanjakannya dijalan Allah maka gembirakanlah mereka dengan
azab yang pedih”. Pada waktu ayat ini turun banyak para sahabat yang merasa
berat untuk melaksanakan perintah ini, maka mereka bertanya kepada Nabi yang
kemudian dijawab dengan hadits tersebut.
3. HADIST DALAM MENENTUKAN HUKUM
Dalam pembicaraan hubungan As-Sunnah
dengan Al-Qur’an telah disinggung tentang bayan tasyri’, yaitu hadits
adakalanya menentukan suatu peraturan/hukum atas suatu persoalan yang tidak
disinggung sama sekali oleh Al-Qur’an. Walaupun demikian para Ulama telah
berselisih paham terhadap hal ini. Kelompok yang menyetujui mendasarkan
pendapatnya pada ‘ishmah (keterpeliharaan Nabi dari dosa dan kesalahan,
khususnya dalam bidang syariat) apalagi sekian banyak ayat yang menunjukkan
adanya wewenang kemandirian Nabi saw. untuk ditaati. Kelompok yang menolaknya
berpendapat bahwa sumber hukum hanya Allah, Inn al-hukm illa lillah, sehingga
Rasul pun harus merujuk kepada Allah SWT (dalam hal ini Al-Quran), ketika
hendak menetapkan hukum.
Kalau persoalannya hanya terbatas
seperti apa yang dikemukakan di atas, maka jalan keluarnya mungkin tidak
terlalu sulit, apabila fungsi Al-Sunnah terhadap Al-Quran didefinisikan sebagai
bayan murad Allah (penjelasan tentang maksud Allah) sehingga apakah ia
merupakan penjelasan penguat, atau rinci, pembatas dan bahkan maupun tambahan,
kesemuanya bersumber dari Allah SWT.
Sebenarnya dengan kedudukan Nabi
sebagai Rasul pun sudah cukup menjadi jaminan (sesuai dengan fungsinya sebagai
tasyri’) adalah harus menjadi pedoman bagi umatnya, dan seterusnya. Tetapi
mereka yang keberatan, beralasan antara lain: Bahwa fungsi Sunnah itu tidak
lepas dari tabyin atas apa yang dinyatakan Al-Qur’an sebagaimana penegasan
Allah:
“keterangan-keterangan (mukjizat)
dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan
pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka” (An-Nahl: 44)
Maka apa saja yang diungkap Sunnah
sudah ada penjelasannya dalam Al-Qur’an meski secara umum sekalipun. Sebab
Al-Qur’an sendiri menegaskan
“Tiadalah Kami alpakan sesuatupun
dalam Al-Kitab ini” (Al-An’am : 38)
Sebenarnya kedua pendapat itu tidak
mempunyai perbedaan yang pokok. Walaupun titik tolak berpikirnya berbeda,
tetapi kesimpulannya adalah sama. Yang diperdebatkan keduanya adalah soal
adanya hadits yang berdiri sendiri. Apakah betul-betul ada atau hanya karena
menganggap Al-Qur’an tidak membahasnya, padahal sebenarnya membahas.
Seperti dalam soal haramnya kawin
karena sesusuan, menurut pihak pertama adalah karena ditetapkan oleh Sunnah
yang berdiri sendiri, tetapi ketetapan itu adalah sebagai tabyin/tafsir daripada
ayat Al-Qur’an yang membahasnya secara umum dan tidak jelas. Mereka sama-sama
mengakui tentang adanya sesuatu tersebut tetapi mereka berbeda pendapat tentang
apakah Al-Qur’an pernah menyinggungnya atau tidak (hanya ditetapkan oleh Sunnah
saja)
Dalam kasus-kasus persoalan lain
sebenarnya masih banyak hal-hal yang ditetapkan oleh Sunnah saja, yang barangkali
sangat sulit untuk kita cari ayat Al-Qur’an yang membahasnya, walaupun secara
umum dan global. Oleh karena itulah kita cenderung untuk berpendapat sama
dengan pihak yang pertama.
4. NABI MUHAMMAD SEBAGAI SANDARAN HADIST
Pada dasarnya seorang Nabi punya
peran sebagai panutan bagi umatnya. Sehingga umatnya wajib menjadikan diri
seorang Nabi sebagai suri tauladan dalam hidupnya.
Namun perlu juga diketahui bahwa
tidak semua perbuatan Nabi menjadi ajaran yang wajib untuk diikuti. Memang
betul bahwa para prinsipnya perbuatan Nabi itu harus dijadikan tuntunan dan
panutan dalam kehidupan. Akan tetapi kalau kita sudah sampai detail masalah,
ternyata tetap ada yang menjadi wilayah khushushiyah beliau. Ada beberapa amal
yang boleh dikerjakan oleh Nabi tetapi haram bagi umatnya. Di sisi lain ada
amal yang wajib bagi Nabi tapi bagi umatnya hanya menjadi Sunnah. Lalu ada juga
yang haram dikerjakan oleh Nabi tetapi justru boleh bagi umatnya. Hal ini bisa
kita telaah lebih lanjut dalam beberapa uraian berikut ini:
1. Boleh bagi Nabi, haram bagi umatnya
Ada beberapa perbuatan hanya boleh
dikerjakan oleh Rasulullah SAW, sebagai sebuah pengecualian. Namun bagi kita
sebagai umatnya justru haram hukumnya bila dikerjakan. Contohnya antara lain:
· Berpuasa Wishal
Puasa wishal adalah puasa yang tidak berbuka saat Maghrib,
hingga puasa itu bersambung terus sampai esok harinya. Nabi Muhammad SAW
berpuasa wishal dan hukumnya boleh bagi beliau, sementara umatnya justru haram
bila melakukannya.
· Boleh beristri lebih dari empat
wanita
Contoh lainnya adalah masalah kebolehan poligami lebih dari
4 isteri dalam waktu yang bersamaan. Kebolehan ini hanya berlaku bagi
Rasulullah SAW seorang, sedangkan umatnya justru diharamkan bila melakukannya.
2. Yang wajib
bagi Nabi, Sunnah bagi ummatnya
Sedangkan dari sisi kewajiban, ada beberapa amal yang
hukumnya wajib dikerjakan oleh Rasulullah SAW, namun hukumnya hanya Sunnah bagi
umatnya.
· Shalat Dhuha’
Shalat dhuha’ yang hukumnya Sunnah
bagi kita, namun bagi Nabi hukumnya wajib.
· Qiyamullail
Demikian juga dengan shalat malam (qiyamullaih) dan dua
rakaat fajar. Hukumnya Sunnah bagi kita tapi wajib bagi Rasulullah SAW.
· Bersiwak
Selain itu juga ada kewajiban bagi beliau untuk bersiwak,
padahal bagi umatnya hukumnya hanya Sunnah saja.
· Bermusyawarah
Hukumnya wajib bagi Nabi SAW namun
Sunnah bagi umatnya
· Menyembelih kurban (udhhiyah)
Hukumnya wajib bagi Nabi SAW namun
Sunnah bagi umatnya.
3. Yang haram
bagi Nabi tapi boleh bagi ummatnya
· Menerima harta zakat
Semiskin apapun seorang Nabi, namun beliau diharamkan
menerima harta zakat. Demikian juga hal yang sama berlaku bagi keluarga beliau
(ahlul bait).
· Makan makanan yang berbau
Segala jenis makanan yang berbau kurang sedang hukumnya
haram bagi beliau, seperti bawang dan sejenisnya. Hal itu karena menyebabkan
tidak mau datangnya malakat kepadanya untuk membawa wahyu.
Sedangkan bagi umatnya, hukumnya halal, setidaknya hukumnya
makruh. Maka jengkol, petai dan makanan sejenisnya, masih halal dan tidak
berdosa bila dimakan oleh umat Muhammad SAW.
· Haram menikahi wanita ahlulkitab
Karena isteri Nabi berarti umahat muslim, ibunda orang-orang
muslim. Kalau isteri Nabi beragam nasrani atau yahudi, maka bagaimana mungkin
bisa terjadi.
Sedangkan bagi umatnya dihalalkan menikahi wanita ahli
kitab, sebagaimana telah dihalalkan oleh Allah SWT di dalam Al-Quran surat
Al-Maidah ayat 3.
Selain hal-hal yang diuraikan di
atas, perbuatan-perbuatan Nabi Muhammad sebelum kerasulan bukan merupakan
sumber hukum dan tidak wajib diikuti. Walaupun oleh sejarah dicatat bahwa
perbuatan dan perkataan Nabi selalu terpuji dan benar, sehingga beliau
mendapatkan gelar Al-Amin. Akan tetapi kehiupannya waktu itu bisa
dijadikan sebagai suatu contoh yang sangat baik bagi kehidupan setiap setiap
muslim. Sebagaimana bolehnya kita mengambil contoh atas perbuatan-perbuatan
yang baik walaupun dari orang luar Islam sekalipun.
Semua contoh di atas merupakan hasil
istimbath hukum para ulama dengan cara memeriksa semua dalil baik yang ada di
dalam Al-Quran maupun yang ada di dalam Sunnah Nabi SAW.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1.
Secara bahasa, hadits dapat berarti baru, dekat dan khabar
(cerita). Sedangkan menurut istilah, hadits berarti segala perkataan, perbuatan
dan taqrir atau persetujuan yang disandarkan pada Nabi Muhammad SAW (aqwal,
af’al wa taqrir).
2.
Peran dan kedudukan Hadits adalah sebagai tabyin atau
penjelas dari Al-Qur’an dan juga menjadi sumber hukum sekunder/kedua_setelah
Al-Qur’an.
3.
Dalam hubungannya dengan Al-Qur’an, As-Sunnah memiliki
beberapa fungsi seperti; bayan tafsir yang menerangkan ayat-ayat yang sangat
umum, mujmal dan musytarak; Bayan Taqrir, berfungsi untuk memperkokoh
dan memperkuat pernyataan Al-Qur’an, dan; Bayan Taudhih, yaitu
menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat Al-Qur’an.
4.
Dalam beberapa kasus, As-Sunnah dapat saja berdiri sendiri
dalam menentukan hukum, hal ini didasarkan pada keterpeliharaan Nabi dari dosa
dan kesalahan, khususnya dalam bidang syariat. Dan hal ini terbatas pada suatu
perkara yang Al-Qur’an tidak menyinggungnya sama sekali, atau sulit ditemui
dalil-dalilnya dalam Al-Qur’an.
5.
Tidak semua perbuatan Nabi Muhammad merupakan sumber hukum
yang harus diikuti oleh umatnya, seperti perbuatan dan perkataannya pada masa
sebelum kerasulannya.
B. SARAN
Diharapkan
kepada para pembaca agar secara benar-benar dapat mengetahui kedudukan hadist sebagai salah satu sumber
hukum Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an
Faridl, Miftah, (2001), As-Sunnah Sumber
Hukum Islam Yang Kedua, Bandung: Pustaka
Hasbi Ash-Shiddieqy, Prof. T.M., (1965), Sejarah
dan Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta: Bulan Bintang
Quraish, M. Syihab, (1996), Membumikan
Al-Qur’an, Bandung: Mizan
No comments :
Post a Comment