HUKUM ISLAM TENTANG BUGHAT BESERTA
HIKMAHNYA
1. Pengertian dan Hukum Bughat
Kata bughat adalah
bentukan dari fi’il ( بَغَى-يَبْغِى) yang berarti mencari, maksiat, melampuai batas, berpaling dari
kebenaran, dhalim.
Sedangkan menurut istilah syara’
bughat berarti orang-orang yang menentang imam dengan jalan keluar dari
pimpinannya dan menolak kewajiban yang dibebankan kepadanya dan mereka
mempunyai alas an , pengikut dan kekuatanserta ada imamnya tersendiri.
Dari
pengertian tersebut sekelompok orang dikatakan bughat jika memenuhi syarat
sebagai berikut:
a.
Memiliki kekuatan untuk melawan.
b.
Mereka menyatakan keluar dan tidak mau memenuhi
kewajiban yang dibebankan kepada mereka.
c.
Memiliki alasan mengapa mereka keluar dari imam.
d.
Mereka memiliki pengikut.
e.
Mereka memiliki pemimpin sendiri yang ditaati.
Jika orang-orang yang membangkang itu
tidak taat pada imam, dan telah memenuhi syarat dikatakan pembangkang maka ia
dikatakan sebagai kelompok yang dzalim dan telah keluar dari jamaah pada hal
mentaati pemimpin itu diperintahkan oleh Allah swt. Segaraimana firmanNya
:
Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An
Nisa' 59)
Hukum bughat adalah haram, dan dapat diperangi sampai
mereka kembali taat. sesuai dengan firman Allah SWT :
“Dan jika ada
dua golongan dari orang-orang mu’min berperang maka damaikanlah antara
keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya
terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu
sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu telah
kembali (kepada perintah Allah) maka damaikanlah antara keduanya dengan adil
dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku
adil.” (QS. Al Hujurat: 9).
Sementara dalil al-Sunnah terhadap perbuatan Bughah. Antaranya adalah
seperti berikut;
-
Maksudnya: Daripada
Abdullah bin Umar bahawa Rasulullah S.A.W pernah bersabda: “Barangsiapa yang
telah berbaiah kepada seorang pemimpin, dan telah menghulurkan tangan dan
hatinya (memberi baiah atau kesetiaan) kepadanya, maka hendaklah dia
mentaatinya selagi termampu. Sekiranya datang seorang lain yang cuba
menentangnya (memerangi pemimpin yang dibaiah itu) maka pancunglah kepala
penentangnya itu.”
(Riwayat al-Bukhari dan Muslim)
2. Tindakan Terhadap Bughat
Pelaku bughat
wajib diupayakan agar mereka kembali taat kepada imam. Usaha mengajak mereka
kembali taat dilakukan dengan cara bertahap, yaitu
a.
Mengirim utusan kepada mereka untuk mengetahui sebab-sebab
mereka melakukan pemberontakan. Apabila sebab-sebab itu ternyata berupa
ketidaktauan, maka diusahakan agar mereka jadi mengerti.
b.
Jika tindakan pertama tidak berhasil dan mereka tetap
bertahan dengan pendapat mereka, tindakan selanjutnya adalah menasehati mereka
dan mengajak untuk kembali mentaati imam yang syah.
c.
Jika usaha kedua itupun tidak berhasil, maka tindakan
ketiga adalah memberikan ultimatum atau ancaman.
d.
Jika dengan ketiga tersebut meraka masih tetap tidak
mau kembali taat, tindakan terakhir adalah memerangi mereka sampai sadar dan
kembali taat.
Agar ada perbedaan antara perang
dengan orang kafir dan kelompok kaum muslimin yang membangkang pemerintah ,
maka tawanan-tawanan kaum pembangkang tidak boleh dibunuh, tetapi hanya ditahan
saja sampai mereka kembali insyaf. Harta mereka yang sudah terlanjur dirampas tidak boleh
dijadikan sebagai barang rampasan, tetapi jika sudah insyaf harus dikembalikan
lagi. Demikian juga mereka yang tertawan dalam keadaan luka-luka harus dirawat.
Dalam keadaan perang jika mereka telah mengundurkan diri tidak boleh dikejar.
3. Hikmah
Dilarangnya Bughah
a. Agar umat
Islam hanya ada satu komando yaitu imam yang sah.
b. Menyadarkan
betapa pentingnya persatuan dan kesatuan
c.
Mengingatkan agar senantiasa mengamalkan perintah
Allah swt. khususnya taat kepada imam yang sah.
d.
Mengingatkan bahwa perbedaan dalam satu kelompok
adalah rahmat asal tidak terjadi percekcokan dan permusuhan.
4. Syarat
Untuk Membasmi Pemberontak :
·
Pemberontak tersebut mestilah mempunyai kekuatan dan
ketahanan tersendiri, samada bilangan yang ramai atau mempunyai kubu untuk
menentang pemerintah.
·
Pemberontak itu mestilah benar-benar di luar kawalan
pemerintah disebabkan kekuatan mereka. Sekiranya masih dalam keadaan terkawal,
maka sudah tentu tidak perlu diperangi. Cukup sekadar menangkap sahaja.
·
Mestilah mempunyai tafsiran yang dibenarkan dalam ruang ijtihad bahawa
mereka ini pemberontak dengan alasan yang kukuh iaitu menentang pemerintah.
·
Pemberontak tersebut mempunyai tokoh yang ditaati, yang
menguatkan pengaruh mereka. Walaupun bukan sebagai pimpinan tertinggi, tetapi
pandangannya dijadikan sebagai “sandaran”.
PEMBERONTAKAN GAM
Melihat konflik Aceh bisa melalui kaca mata yang berbeda, dengan apa yang
dibangun selama ini, bahwa konflik Aceh terjadi karena ketidak adilan yang
dilakukan oleh pemerintah pusat. Kalau alasan itu dibangun, maka tidak
hanya Aceh yang merasakan ketidakadian demikian, Riau juga mengalami hal
serupa. Ada hal yang mendasari konflik Aceh, yaitu persoalan nasionalisme Aceh.
Fungsi nasionalisme adalah sebagai mata yang melihat kedalam, yaitu untuk
menjelaskan identitas, sekaligus mata keluar sebagai suatu ideologi yang
menjelaskan bahwa suatu bangsa sejajar secara internasional dengan bangsa lain. Dalam
konflik Aceh pada fase Gerakan Aceh ini, warna nasionalisme Aceh kuat dari pada
ideologi Islam yang pernah menjadi asas gerakan perlawanan Aceh pada masa
sebelumnya.
GAM pertama kali di deklarasi pada 4 Desember 1976. Gerakan ini mengusung
nasionalisme Aceh secara jelas. Nasionalisme yang dibangun sebagai pembeda
dengan nasionalisme Indonesia yang sebelumnya telah ada. Bangunan ide seperti
ini sebelumnya tidak pernah ada. Pada Perang Aceh diakhir abad 19, tidak pernah
ditemukan bahwa rakyat berperang karena membela tanah kelahiran, melainkan
berperang sebagai tuntutan agama. Garis demarkasi juga bukan antara
Aceh-Belanda, melainkan muslim-kafir. Hal ini terus berlanjut pada masa-masa
berikutnya, terutama ketika masa revolusi. Dalam proses sejarah integrasi Aceh
ke Indonesia juga ideologi Islam masih terlihat kuat, bahkan menjadi perekat
antara Aceh dan wailayah-wilayah lain di Indonesia.
Bagi Hasan Tiro, sebagai pendiri Gerakan Aceh Merdeka, yang meyakini bahwa
Aceh merupakan identitas tersendiri, yang memiliki sejarah dan jati diri yang
kuat. Oleh karenanya, kedaulatan Aceh yang sudah dimiliki ratusan tahun yang
lalu mesti dikembalikan.
Dalam diskursus nasionalisme, para pakar menguraikan bahwa nasionalisme
adalah fenomena modern yang lahir dari rahim industrialisasi dan modernisasi di
dunia barat. Ini menjadi gelombang baru dibelahan dunia lainnya, termasuk di
negeri-negeri muslim.
Gelombang nasionalisme ini tentu memberikan paradigma yang berbeda dengan
apa yang dibangun oleh perjalanan pengalaman suatu bangsa. Dalam hal ini Hasan
Tiro membangun pandangannya tentang Aceh melalui paradigma yang dibangun oleh
bangsa Eropa. Untuk melacak ini tidak terlalu sulit. Kepergiaannya untuk
belajar di Amerika Serikat awal tahun 1950-an telah mempengaruhi cara
pandangnya melihat Aceh.
GAM lahir karena kegagalan gerakan Darul Islam pada masa sebelumnya. Darul
Islam muncul sebagai reaksi atas ketidak berpihakan Jakarta terhadap gagasan
formalisasi Islam di Indonesia.
Darul Islam adalah sebuah gerakan perlawanan dengan ideologi Islam yang terbuka.
Bagi Darul islam, dasar dari perlawanan adalah Islam, sehingga tidak ada
sentimen terhadap bangsa-bangsa lain, bahkan ideologi Islam adalah sebagai
perekat dari perbedaan yang ada. Gagasan ini juga berkembang dalam gerakan
Darul Islam di Aceh.
Akan tetapi, paska berhentinya perlawanan Darul Islam Aceh, keinginan Aceh
untuk melakukan Islamisasi di Indonesia menjadi lebih sempit hanya kepada Aceh.
Perubahan ini terjadi disebabkan karena kegagalan Darul Islam diseluruh
Indonesia, sehingga memaksa orang Aceh lebih realistis untuk mewujudkan
cita-cita. Yang menjadi menarik adalah, GAM yang melanjutkan tradisi perlawanan
Aceh, ternyata tidak melanjutkan ideologi Islam yang terlebih dahulu digunakan
oleh Darul Islam. Sebagaimana yang disebutkan bahwa GAM lebih memilih
nasionalisme Aceh sebagai isu populisnya.
Kemunculan GAM pada masa awalnya langsung mendapat respon oleh pemerintah
Orde Baru dengan melakukan operasi militer yang represif, sehingga membuat GAM
kurang bisa berkembang. Walau demikian, GAM juga melakukan pelebaran jaringan
yang membuat mereka kuat, baik pada tingkat internasional maupun menyatu dengan
masyarakat.
Dalam dinamika konflik Aceh, fase yang menentukan adalah paska kejatuhan
Soeharto. Pada fase ini kelompok sipil memainkan peranan yang strategis dalam
mengubah paradigma kemerdekaan yang diperjuangkan oleh GAM. Kalau pada masa
awal, GAM memahami bahwa kemerdekaan adalah karena tuntutan sejarah, karena
Aceh adalah bangsa yang berdaulat sejak dulu. Nah, pada fase ini, kelompok
sipil melakukan tranformasi penting, bahwa kemerdekaan adalah tuntutan
realistis dari kehidupan berdemokrasi, sehingga muncul tawaran referendum
sebagai jalan penyelesaian konflik Aceh.
1. Pengertian dan Hukum Bughat
Kata bughat adalah
bentukan dari fi’il ( بَغَى-يَبْغِى) yang berarti mencari, maksiat, melampuai batas, berpaling dari
kebenaran, dhalim.
Sedangkan menurut istilah syara’
bughat berarti orang-orang yang menentang imam dengan jalan keluar dari
pimpinannya dan menolak kewajiban yang dibebankan kepadanya dan mereka
mempunyai alas an , pengikut dan kekuatanserta ada imamnya tersendiri.
Dari
pengertian tersebut sekelompok orang dikatakan bughat jika memenuhi syarat
sebagai berikut:
a.
Memiliki kekuatan untuk melawan.
b.
Mereka menyatakan keluar dan tidak mau memenuhi
kewajiban yang dibebankan kepada mereka.
c.
Memiliki alasan mengapa mereka keluar dari imam.
d.
Mereka memiliki pengikut.
e.
Mereka memiliki pemimpin sendiri yang ditaati.
Jika orang-orang yang membangkang itu
tidak taat pada imam, dan telah memenuhi syarat dikatakan pembangkang maka ia
dikatakan sebagai kelompok yang dzalim dan telah keluar dari jamaah pada hal
mentaati pemimpin itu diperintahkan oleh Allah swt. Segaraimana firmanNya
:
Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An
Nisa' 59)
Hukum bughat adalah haram, dan dapat diperangi sampai
mereka kembali taat. sesuai dengan firman Allah SWT :
“Dan jika ada
dua golongan dari orang-orang mu’min berperang maka damaikanlah antara
keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya
terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu
sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu telah
kembali (kepada perintah Allah) maka damaikanlah antara keduanya dengan adil
dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku
adil.” (QS. Al Hujurat: 9).
Sementara dalil al-Sunnah terhadap perbuatan Bughah. Antaranya adalah
seperti berikut;
-
Maksudnya: Daripada
Abdullah bin Umar bahawa Rasulullah S.A.W pernah bersabda: “Barangsiapa yang
telah berbaiah kepada seorang pemimpin, dan telah menghulurkan tangan dan
hatinya (memberi baiah atau kesetiaan) kepadanya, maka hendaklah dia
mentaatinya selagi termampu. Sekiranya datang seorang lain yang cuba
menentangnya (memerangi pemimpin yang dibaiah itu) maka pancunglah kepala
penentangnya itu.”
(Riwayat al-Bukhari dan Muslim)
(Riwayat al-Bukhari dan Muslim)
2. Tindakan Terhadap Bughat
Pelaku bughat
wajib diupayakan agar mereka kembali taat kepada imam. Usaha mengajak mereka
kembali taat dilakukan dengan cara bertahap, yaitu
a.
Mengirim utusan kepada mereka untuk mengetahui sebab-sebab
mereka melakukan pemberontakan. Apabila sebab-sebab itu ternyata berupa
ketidaktauan, maka diusahakan agar mereka jadi mengerti.
b.
Jika tindakan pertama tidak berhasil dan mereka tetap
bertahan dengan pendapat mereka, tindakan selanjutnya adalah menasehati mereka
dan mengajak untuk kembali mentaati imam yang syah.
c.
Jika usaha kedua itupun tidak berhasil, maka tindakan
ketiga adalah memberikan ultimatum atau ancaman.
d.
Jika dengan ketiga tersebut meraka masih tetap tidak
mau kembali taat, tindakan terakhir adalah memerangi mereka sampai sadar dan
kembali taat.
Agar ada perbedaan antara perang
dengan orang kafir dan kelompok kaum muslimin yang membangkang pemerintah ,
maka tawanan-tawanan kaum pembangkang tidak boleh dibunuh, tetapi hanya ditahan
saja sampai mereka kembali insyaf. Harta mereka yang sudah terlanjur dirampas tidak boleh
dijadikan sebagai barang rampasan, tetapi jika sudah insyaf harus dikembalikan
lagi. Demikian juga mereka yang tertawan dalam keadaan luka-luka harus dirawat.
Dalam keadaan perang jika mereka telah mengundurkan diri tidak boleh dikejar.
3. Hikmah
Dilarangnya Bughah
a. Agar umat
Islam hanya ada satu komando yaitu imam yang sah.
b. Menyadarkan
betapa pentingnya persatuan dan kesatuan
c.
Mengingatkan agar senantiasa mengamalkan perintah
Allah swt. khususnya taat kepada imam yang sah.
d.
Mengingatkan bahwa perbedaan dalam satu kelompok
adalah rahmat asal tidak terjadi percekcokan dan permusuhan.
4. Syarat
Untuk Membasmi Pemberontak :
·
Pemberontak tersebut mestilah mempunyai kekuatan dan
ketahanan tersendiri, samada bilangan yang ramai atau mempunyai kubu untuk
menentang pemerintah.
·
Pemberontak itu mestilah benar-benar di luar kawalan
pemerintah disebabkan kekuatan mereka. Sekiranya masih dalam keadaan terkawal,
maka sudah tentu tidak perlu diperangi. Cukup sekadar menangkap sahaja.
·
Mestilah mempunyai tafsiran yang dibenarkan dalam ruang ijtihad bahawa
mereka ini pemberontak dengan alasan yang kukuh iaitu menentang pemerintah.
·
Pemberontak tersebut mempunyai tokoh yang ditaati, yang
menguatkan pengaruh mereka. Walaupun bukan sebagai pimpinan tertinggi, tetapi
pandangannya dijadikan sebagai “sandaran”.
PEMBERONTAKAN GAM
Melihat konflik Aceh bisa melalui kaca mata yang berbeda, dengan apa yang
dibangun selama ini, bahwa konflik Aceh terjadi karena ketidak adilan yang
dilakukan oleh pemerintah pusat. Kalau alasan itu dibangun, maka tidak
hanya Aceh yang merasakan ketidakadian demikian, Riau juga mengalami hal
serupa. Ada hal yang mendasari konflik Aceh, yaitu persoalan nasionalisme Aceh.
Fungsi nasionalisme adalah sebagai mata yang melihat kedalam, yaitu untuk
menjelaskan identitas, sekaligus mata keluar sebagai suatu ideologi yang
menjelaskan bahwa suatu bangsa sejajar secara internasional dengan bangsa lain. Dalam
konflik Aceh pada fase Gerakan Aceh ini, warna nasionalisme Aceh kuat dari pada
ideologi Islam yang pernah menjadi asas gerakan perlawanan Aceh pada masa
sebelumnya.
GAM pertama kali di deklarasi pada 4 Desember 1976. Gerakan ini mengusung
nasionalisme Aceh secara jelas. Nasionalisme yang dibangun sebagai pembeda
dengan nasionalisme Indonesia yang sebelumnya telah ada. Bangunan ide seperti
ini sebelumnya tidak pernah ada. Pada Perang Aceh diakhir abad 19, tidak pernah
ditemukan bahwa rakyat berperang karena membela tanah kelahiran, melainkan
berperang sebagai tuntutan agama. Garis demarkasi juga bukan antara
Aceh-Belanda, melainkan muslim-kafir. Hal ini terus berlanjut pada masa-masa
berikutnya, terutama ketika masa revolusi. Dalam proses sejarah integrasi Aceh
ke Indonesia juga ideologi Islam masih terlihat kuat, bahkan menjadi perekat
antara Aceh dan wailayah-wilayah lain di Indonesia.
Bagi Hasan Tiro, sebagai pendiri Gerakan Aceh Merdeka, yang meyakini bahwa
Aceh merupakan identitas tersendiri, yang memiliki sejarah dan jati diri yang
kuat. Oleh karenanya, kedaulatan Aceh yang sudah dimiliki ratusan tahun yang
lalu mesti dikembalikan.
Dalam diskursus nasionalisme, para pakar menguraikan bahwa nasionalisme
adalah fenomena modern yang lahir dari rahim industrialisasi dan modernisasi di
dunia barat. Ini menjadi gelombang baru dibelahan dunia lainnya, termasuk di
negeri-negeri muslim.
Gelombang nasionalisme ini tentu memberikan paradigma yang berbeda dengan
apa yang dibangun oleh perjalanan pengalaman suatu bangsa. Dalam hal ini Hasan
Tiro membangun pandangannya tentang Aceh melalui paradigma yang dibangun oleh
bangsa Eropa. Untuk melacak ini tidak terlalu sulit. Kepergiaannya untuk
belajar di Amerika Serikat awal tahun 1950-an telah mempengaruhi cara
pandangnya melihat Aceh.
GAM lahir karena kegagalan gerakan Darul Islam pada masa sebelumnya. Darul
Islam muncul sebagai reaksi atas ketidak berpihakan Jakarta terhadap gagasan
formalisasi Islam di Indonesia.
Darul Islam adalah sebuah gerakan perlawanan dengan ideologi Islam yang terbuka.
Bagi Darul islam, dasar dari perlawanan adalah Islam, sehingga tidak ada
sentimen terhadap bangsa-bangsa lain, bahkan ideologi Islam adalah sebagai
perekat dari perbedaan yang ada. Gagasan ini juga berkembang dalam gerakan
Darul Islam di Aceh.
Akan tetapi, paska berhentinya perlawanan Darul Islam Aceh, keinginan Aceh
untuk melakukan Islamisasi di Indonesia menjadi lebih sempit hanya kepada Aceh.
Perubahan ini terjadi disebabkan karena kegagalan Darul Islam diseluruh
Indonesia, sehingga memaksa orang Aceh lebih realistis untuk mewujudkan
cita-cita. Yang menjadi menarik adalah, GAM yang melanjutkan tradisi perlawanan
Aceh, ternyata tidak melanjutkan ideologi Islam yang terlebih dahulu digunakan
oleh Darul Islam. Sebagaimana yang disebutkan bahwa GAM lebih memilih
nasionalisme Aceh sebagai isu populisnya.
Kemunculan GAM pada masa awalnya langsung mendapat respon oleh pemerintah
Orde Baru dengan melakukan operasi militer yang represif, sehingga membuat GAM
kurang bisa berkembang. Walau demikian, GAM juga melakukan pelebaran jaringan
yang membuat mereka kuat, baik pada tingkat internasional maupun menyatu dengan
masyarakat.
Dalam dinamika konflik Aceh, fase yang menentukan adalah paska kejatuhan
Soeharto. Pada fase ini kelompok sipil memainkan peranan yang strategis dalam
mengubah paradigma kemerdekaan yang diperjuangkan oleh GAM. Kalau pada masa
awal, GAM memahami bahwa kemerdekaan adalah karena tuntutan sejarah, karena
Aceh adalah bangsa yang berdaulat sejak dulu. Nah, pada fase ini, kelompok
sipil melakukan tranformasi penting, bahwa kemerdekaan adalah tuntutan
realistis dari kehidupan berdemokrasi, sehingga muncul tawaran referendum
sebagai jalan penyelesaian konflik Aceh.
No comments :
Post a Comment