PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PERBANKAN
Dengan kewenangan ini otoritas pengawas bank
dapat melakukan kegiatan berikut :
·
Menjatuhkan sanksi atas pelanggaran terhadap
ketentuan yang berlaku seperti pengenaan denda, penurunan tingkat kesehatan
atau rating bank dan lain lain.
·
Memaksa bank untuk memperbaiki kebijaksanaannya
·
Memaksa bank untuk mengganti Dewan Komisaris
atau Direksi
·
Mencabut izin usaha
·
Mengambil tindakan lain sesuai dengan peraturan
perundang-undangan berlaku.
Pelaksanaan
pembinaan dan pengawasan bank yang tercakup dalam empat aspek di atas,
dilakukan sepenuhnya oleh bank Indonesia kecuali aspek kewenangan dalam
mengatur perizinan dimana wewenang Bank Indonesia hanya bersifat memberikan
rekomendasi kepada Menteri Keuangan atas permohonan pendirian bank.
Atas dasar tujuan itu mekanisme pembinaan dan
pengawasan bank secara terus menerus harus disempurnakan, sehingga laporan
keuangan yang telah diaudit mampu memberikan manfaat nilai tambah terhadap
pelaksanaan pengawasan, antara lain :
a)
Pembaca laporan keuangan memperoleh informasi
yang akurat tentang keadaan bank,
b)
Para pengawas akan lebih cekatan dalam menilai
kondisi keuangan dan kesulitan yang dialami bank
c)
Memungkinkan para pengawas bank mengetahui
ruang lingkup dan sasaran khusus yang membutuhkan pengendalian, karena dapat
mengenali sisi kegiatan yag mengandung persoalan.
Sejalan dengan sering terjadinya praktek
perbankan yang tidak mematuhi aturan, masalah informasi tentang keadaan
keuangan menjadi sangat penting untuk diketahui semua pihak, informasi keuangan
ini tidak hanya perlu untuk diketahui otoritas pengawas bank tetapi juga oleh
kalangan masyarakat yang menggunakan jasa bank, iklim seperti ini diharapkan
masyarakat akan semakin cerdas menempatkan informasi keadaan bank secara
proporsional, sehingga ia bisa bertindak cepat sesuai dengan hasil penilaiannya
terhadap bank-bank tertentu.
SISTEM PENGAWASAN BANK OLEH BANK
INDONESIA
Dalam
menjalankan tugas pengawasan bank, saat ini BI melaksanakan sistem
pengawasannya dengan menggunakan 2 pendekatan yakni pengawasan berdasarkan
kepatuhan (compliance based supervision) dan pengawasan berdasarkan risiko
(risk based supervision/RBS). Dengan adanya pendekatan RBS tersebut, bukan
berarti mengesampingkan pendekatan berdasarkan kepatuhan, namun merupakan upaya
untuk menyempurnakan sistem pengawasan sehingga dapat meningkatkan efektivitas
dan efisiensi pengawasan perbankan. Secara bertahap, pendekatan pengawasan yang
diterapkan oleh BI akan beralih menjadi sepenuhnya pengawasan berdasarkan
risiko.
1.
Pengawasan
Berdasarkan Kepatuhan (Compliance Based Supervision)
Pendekatan pengawasan berdasarkan
kepatuhan pada dasarnya menekankan pemantauan kepatuhan bank untuk melaksanakan
ketentuan ketentuan yang terkait dengan operasi dan pengelolaan bank.
Pendekatan ini mengacu pada kondisi bank di masa lalu dengan tujuan untuk
memastikan bahwa bank telah beroperasi dan dikelola secara baik dan benar
menurut prinsip-prinsip kehati-hatian.
2.
Pengawasan
Berdasarkan Risiko (Risk Based Supervision)
Pendekatan pengawasan berdasarkan
risiko merupakan pendekatan pengawasan yang berorientasi ke depan (forward
looking). Dengan menggunakan pendekatan tersebut pengawasan/pemeriksaan suatu
bank difokuskan pada risiko-risiko yang melekat (inherent risk)pada aktivitas
fungsional bank serta sistem pengendalian risiko (risk control system). Melalui
pendekatan ini akan lebih memungkinkan otoritas pengawasan bank untuk proaktif
dalam melakukan pencegahan terhadap permasalahan yang potensial timbul di bank.
Pendekatan pengawasan berdasarkan risiko memiliki siklus pengawasan sebagai
berikut :
Jenis-Jenis
Risiko Bank :
·
Risiko
Kredit : Risiko
yang timbul sebagai akibat kegagalan counterparty memenuhi kewajibannya.
·
Risiko
Pasar : Risiko
yang timbul karena adanya pergerakan variabel pasar (adverse movement) dari
portofolio yang dimiliki oleh Bank,yang dapat merugikan Bank. Variabel pasar
antara lain adalah suku bunga dan nilai tukar.
·
Risiko
Likuiditas : Risiko
yang antara lain disebabkan Bank tidak mampu memenuhi kewajiban yang telah
jatuh waktu.
·
Risiko
Operasional : Risiko
yang antara lain disebabkan adanya ketidakcukupan dan atau tidak berfungsinya
proses internal,kesalahan manusia, kegagalan sistem, atau adanya problem
eksternal yang mempengaruhi operasional Bank.
·
Risiko
Hukum : Risiko
yang disebabkan oleh adanya kelemahan aspek yuridis. Kelemahan aspek yuridis
antara lain disebabkan adanya tuntutan hukum, ketiadaan peraturan
perundang-undangan yang mendukung atau kelemahan perikatan seperti tidak
dipenuhinya syarat sahnya kontra.
·
Risiko
Reputasi : Risiko
yang antara lain disebabkan adanya publikasi negatif yang terkait dengan
kegiatan usaha Bank atau persepsi negatif terhadap Bank.
·
Risiko
Strategik : Risiko
yang antara lain disebabkan adanya penetapan dan pelaksanaan strategi Bank yang
tidak tepat pengambilan keputusan bisnis yang tidak tepat atau kurang
responsifnya Bank terhadap perubahan eksternal.
·
Risiko
Kepatuhan : Risiko
yang disebabkan Bank tidak mematuhi atau tidak melaksanakan peraturan
perundang-undangan dan ketentuan lain yang berlaku.
Dalam
upaya mengantisipasi akan timbulnya resiko yang mengganggu kenyamanan nasabah,
seharusnya para auditor baik auditor intern atau independen dapat segera
memberi sinyal kepada para pengurus bank untuk mengambil langkah-langkah
perbaikan sekaligus melakukan hal hal berikut :
Pada
pemeriksaan kredit, auditor mereview kebijakan pemberian kredit, memeriksa
dokumen yang mendukung pemberian kredit, dan memastikan bahwa pemberian kredit
telah diperkuat oleh dokumen analisa dan persetujuan kredit dari pihak direksi.
Disamping itu auditor harus memperhatikan adanya keyakinan atas efektifitas
struktur pengendalian intern dalam pemberian kredit serta penentuan
kolektibilitas kredit berdasarkan ketentuan Bank Indonesia mengingat masih ada
ketentuan kelektibilitas yang ditetapkan sendiri oleh bank dan berlaku secara
intern, dan kasus yang paling sering mencuat antara lain tentang :
A. Ketentuan Batas Makximum Pemberian Kredit,
BMPK
adalah batas maksimum penyediaan dana yang diperkenankan untuk diberikan kepada
peminjam kelompok tertentu, dengan adanya ketentuan BMPK diharapkan resiko yang
terkait dalam pelaksanaan operasi bank tidak terpusat pada suatu kelompok
debitur tertentu, dan pemilik tidak memanfaatkan banknya sebagai sarana
penghimpun dana bagi kepentingan dirinya. Disisi lain ketentuan ini dimaksudkan
untuk lebih kearah pemerataan kredit perbankan. Pengucuran kredit seperti ini
disamping dapat mengurangi resiko kerugian akibat kredit bermasalah juga
membuka peluang bagi kesempatan berusaha.
B. Kebijakan kredit ekspansif.
Kadang-kadang
beberapa bank menempuh kebijakan kredit yang ekspansif melebihi batas
pertumbuhan kredit yang normal, para menejemen seringkali menetapkan pencapaian
target kredit dalam jumlah besar dengan waktu yang relatif singkat, karena bank
merasa memiliki kelebihan likuiditas, akibatnya factor prudential yang menjadi
ketentuan bank Indonesia justru terlupakan, karena telanjur memberi kelonggaran
dan keringanan dalam penyeleksian permohonan kredit
C. Penyimpangan dalam prosedur kredit.
Kendati
bank telah memliki pedoman tatacara pemberian kredit, akan tetapi masih saja
ada bank yang tidak konsisten mengikuti system dan kurang disiplin dalam
menerapkan prosedur yang telah ditetapkan. Gejala ini barangkali terjadi
terhadap feasibility study calon debitur, dimana data keuangan calon debitur
tidak (diwajibkan) ikut terlampir didalamnya, penilaian kredit justru dititik
beratkan pada kelayakan usaha dan seringkali kurang ditelaah secara mendalam
tujuan dari penggunaan kredit. penyimpanagan system dan prosedur seperti ini
bersumber dari factor kualitas dan kuantitas pegawai bank yang menangani
permintaan kredit ataupun adanya dominasi pemutusan kredit oleh pejabat tinggi
bank yang bersangkutan.
Pada
pemeriksaan surat berharga auditor harus mencocokan hasil pemeriksaan fisik
dengan jumlah yang tercantum dalam buku besar tambahan dan mencocokan saldo
rekap buku besar tambahan dengan saldo buku besar.
No comments :
Post a Comment