KOLONIALISME BARAT DI INDONESIA
Kolonialisme adalah pengembangan kekuasaan sebuah negara
atas wilayah dan manusia di luar batas negaranya, seringkali untuk mencari
dominasi ekonomi dari sumber daya, tenaga kerja, dan pasar wilayah tersebut.
Istilah ini juga menunjuk kepada suatu himpunan keyakinan yang digunakan untuk
melegitimasikan atau mempromosikan sistem ini, terutama kepercayaan bahwa moral dari pengkoloni lebih hebat ketimbang yang
dikolonikan.
Pendukung
dari kolonialisme berpendapat bahwa hukum kolonial menguntungkan negara yang
dikolonikan dengan mengembangkan infrastruktur ekonomi dan politik yang
dibutuhkan untuk pemodernisasian dan demokrasi. Mereka
menunjuk ke bekas koloni seperti Amerika
Serikat, Australia, Selandia
Baru, Hong
Kong dan Singapura sebagai contoh sukses pasca-kolonialisme.
Peneori ketergantungan seperti Andre Gunder Frank,
berpendapat bahwa kolonialisme sebenarnya menuju ke pemindahan kekayaan dari
daerah yang dikolonisasi ke daerah pengkolonisasi, dan menghambat kesuksesan
pengembangan ekonomi.
Pengkritik
post-kolonialisme seperti Franz Fanon berpendapat bahwa kolonialisme merusak politik,
psikologi, dan moral negara terkolonisasi.
Penulis
dan politikus India Arundhati
Roy berkata bahwa perdebatan antara pro dan kontra
dari kolonialisme/ imperialisme adalah seperti "mendebatkan pro dan kontra
pemerkosaan".
Lihat
juga neokolonialisme sebagai kelanjutan dari dominasi dan
eksploitasi dari negara yang sama dengan cara yang berbeda (dan sering kali
dengan tujuan yang sama).
1. MASA KEKUASAAN VOC
Usaha bangsa Barat
untuk mendapatkan benua baru dipelopori oleh bangsa Portugis dan Spanyol yang
ingin mendapatkan rempah-rempah. Bartholomeu Dias (1492) dan Vasco daGama
(1498) berkebangsaan Portugis berlayar menyusuri pantai barat Benua Afrika
akhirnyatiba di Kalkuta, India. Kemudian mereka membangun kantor dagang di
Kalkuta dan berdagang di Asia Tenggara. Pada tahun 1512, Portugis masuk ke
Maluku sedangkan Spanyol masuk ke Tidore (1521) untuk mencari rempah-rempah.
Pada tahun 1596,
pedagang Belanda dengan empat buah kapal di bawah Cornelis de Houtman berlabuh
di Banten. Mereka mencari rempah-rempah di sana dan daerah sekitarnya untuk
diperdagangkan di Eropa. Namun, karena kekerasan dan kurang menghormati rakyat
maka diusir dari Banten. Kemudian pada tahun 1598, pedagang Belanda datang
kembali ke Indonesia di bawah Van Verre dengan delapan kapal dipimpin Van Neck,
Jacob van Heemkerck datang di Banten dan diterima Sultan
Banten Abdulmufakir dengan baik. Sejak saat itulah ada hubungan
perdagangan dengan pihak. Belanda sehingga berkembang pesat perdagangan Belanda
di Indonesia.
Namun, tujuan dagang
tersebut kemudian berubah. Belanda ingin berkuasa sebagai penjajah yang kejam
dan sewenang-wenang, melakukan monopoli perdagangan, imperialisme ekonomi, dan
perluasan kekuasaan.
Setelah bangsa Belanda
berhasil menanamkan kekuasaan perdagangan dan ekonomi di Indonesia maka pada
tanggal 20 Maret 1602 Belanda membentuk kongsi dagang VOC (Vereenigde
Oost-Indische Compagnie) yang dianjurkan oleh Johan van Olden Barnevelt yang
mendapat izin dan hak istimewa dari Raja Belanda. Alasan pendirian VOC adalah
adanya persaingan di antara pedagang Belandasendiri, adanya ancaman dari komisi
dagang lain, seperti (EIC) Inggris, dan dapat memonopoli perdagangan
rempah-rempah di Indonesia. Untuk mendapatkan keleluasaan usaha di Indonesia,
VOC memiliki hak oktroi, yaitu hak istimewa.
Di samping itu, VOC
juga melakukan pelayaran Hongi, yakni misi pelayaran Belanda yang ditugasi
mengawasi, menangkap, dan mengambil tindakan terhadap para pedagang dan
penduduk pribumi yang dianggapnya melanggar ketentuan perdagangan Belanda.
Usaha VOC semakin berkembang pesat (1623) dan berhasil menguasai rempah-rempah
di Ambon dalam peristiwa Ambon Massacre. Selanjutnya tahun 1641, VOC berhasil
merebut Malaka dari tangan Portugis. VOC selalu menggunakan Batigslot Politiek
(politik mencari untung, 1602 – 1799) dengan memegang monopoli Belanda di
Indonesia. Selain itu, VOC menjalankan politik devide et impera, yakni sistem
pemecah belah di antara rakyat Indonesia.
Perjalanan kongsi
dagang VOC lama kelamaan mengalami kemunduran, bahkan
VOC runtuh pada tanggal 31 Desember 1799. Kemunduran VOC disebabkan hal-hal
berikut.
a. Perang-perang yang
dilakukan membutuhkan biaya yang besar padahal hasil dari bumi
Indonesia telah terkuras habis dan kekayaan Indonesia sudah telanjur terkirim
ke
Negeri Belanda. VOC tidak kuat lagi membiayai perang-perang tersebut.
b. Kekayaan menyebabkan
para pegawai VOC melupakan tugas, kewajiban, dan tanggung
jawab mereka terhadap pemerintah dan masyarakat.
c. Terjadinya jual beli
jabatan.
d. Tumbuhnya tuan-tuan
tanah partikelir.
e. Kekurangan biaya
tersebut tidak dapat ditutup dengan hasil penjualan tanah saja, VOC
harus juga mencari pinjaman. Akibatnya, utang VOC semakin besar.
f. Pada akhir abad ke-18,
VOC tidak mampu lagi memerangi pedagang-pedagang Eropa
lainnya (Inggris, Prancis, Jerman) yang dengan leluasa berdagang di Nusantara
sehingga monopoli VOC hancur.
Keberadaan VOC sudah tidak dapat dipertahankan lagi sehingga harta milik
dan utang-utangnya diambil alih oleh pemerintah negeri Belanda. Pemerintah
kemudian membentuk Komisi Nederburg untuk mengurusinya, termasuk mengurusi
wilayah VOC di Indonesia (1800 – 1907).
2. MASA KEKUASAAN BELANDA
(PRANCIS)
Tahun 1807 – 1811, Indonesia dikuasai oleh Republik Bataaf bentukan
Napoleon Bonaparte, penguasa di Prancis (Belanda menjadi jajahan Prancis).
Napoleon Bonaparte mengangkat Louis Napoleon menjadi wali negeri Belanda dan
negeri Belanda diganti namanya menjadi Konikrijk Holland. Untuk mengurusi
Indonesia, Napoleon mengangkat Herman Willem Daendels menjadi gubernur jenderal
di Indonesia (1808 – 1811). Tugas utama Daendels adalah mempertahankan Jawa
dari serangan Inggris sehingga pusat perhatian Daendels ditujukan kepada
pertahanan dan keamanan.
Untuk memperoleh dana, Daendels menjual tanah-tanah kepada orang-orang
swasta. Akibatnya, tanah-tanah partikelir mulai bermunculan di sekitar Batavia,
Bogor, Indramayu, Pamanukan, Besuki, dan sebagainya. Bahkan, rumahnya sendiri
di Bogor dijual kepada pemerintah, tetapi rumah itu tetap ditempatinya sebagai
rumah tinggalnya. Tindakan dan kekejaman Daendels tersebut menyebabkan raja-raja
Banten dan Mataram memusuhinya.
Untuk menutup utang-utang Belanda dan biaya-biaya pembaharuan tersebut,
Daendels kembali menjual tanah negara beserta isinya kepada swasta, sehingga
timbullah system tuan tanah di Jawa yang bertindak sebagai raja daerah,
misalnya di sekitar Batavia dan Probolinggo. Kekejaman Daendels tersebut
terdengar sampai ke Prancis. Akhirnya, dia dipanggil pulang karena dianggap
memerintah secara autokrasi dan Indonesia diperintah oleh Jansens.
3. MASA KEKUASAAN INGGRIS
Keberhasilan Inggris mengalahkan Prancis di Eropa menyebabkan kekuasaan
Belanda atas Indonesia bergeser ke tangan Inggris. Untuk itulah ditandatangani
Kapitulasi Tuntang (1811) yang isinya Belanda menyerahkan Indonesia ke tangan
Inggris dari tangan Jansens kepada Thomas Stamford Raffles, seorang Letnan
Gubernur Jenderal Inggris untuk Indonesia. Oleh karena itu, beralihlah
Indonesia dari tangan Belanda ke tangan Inggris.
Adapun langkah-langkah yang diambil Raffles adalah :
a. membagi Pulau Jawa
menjadi 16 karesidenan,
b. para bupati dijadikan
pegawai negeri,
c. melaksanakan
perdagangan bebas,
d. melaksanakan land rente
(pajak sewa tanah) dan Raffles menjual tanah kepada swasta,
e. menghapuskan
perbudakan, dan
f. kekuasaan para raja
dikurangi. Di Yogyakarta, Pangeran Notokusumo diangkat sebagai Paku Alam
(1813). Akibatnya, Mataram Yogyakarta pecah menjadi dua, yakni Kasultanan
Yogyakarta di bawah HB III dan Paku Alaman di bawah Paku Alam I.
Pada tanggal 13 Agustus 1814, di Eropa ditandatangani Perjanjian London
oleh Inggris dan Belanda yang isinya Belanda memperoleh kembali sebagian
besar daerah koloninya, termasuk Indonesia. Oleh karena itu pada tahun
1816, Raffles meninggalkan Indonesia dan Belanda kembali berkuasa di
Indonesia.
4. MASA KEKUASAAN
PEMERINTAH BELANDA
Pada tahun 1830, pemerintah Belanda mengangkat gubernur jenderal yang baru
untuk Indonesia, yaitu Van den Bosch, yang diserahi tugas untuk meningkatkan
produksi tanaman ekspor, seperti tebu, teh, tembakau, merica, kopi, kapas, dan
kayu manis. Dalam hal ini, Van den Bosch mengusulkan adanya sistem tanam paksa.
Adapun hal-hal yang mendorong Van den Bosch melaksanakan tanam paksa, antara
lain, Belanda membutuhkan banyak dana untuk membiayai peperangan, baik di
negeri Belanda sendiri maupun di Indonesia. Akibatnya, kas negara Belanda
kosong. Sementara itu, di Eropa terjadi perang Belanda melawan Belgia (1830 –
1839) yang juga menelan banyak biaya.
Tujuan diadakannya tanam paksa adalah untuk mendapatkan keuntungan
yang sebesar-besarnya, guna menutupi kekosongan kas negara dan untuk membayar
utang utang negara.
Pelaksanaan tanam paksa diselewengkan oleh Belanda dan para petugasnya yang
berakibat membawa kesengsaraan rakyat Bentuk penyelewengan tersebut misalnya,
kerja tanpa dibayar untuk kepentingan Belanda (kerja rodi) kekejaman para mandor
terhadap para penduduk, dan eksploitasi kekayaan Indonesia yang dilakukan
Belanda.
Melihat penderitaan rakyat Indonesia, kaum humanis Belanda menuntut agar
tanam paksa dihapuskan. Tanam paksa mengharuskan rakyat bekerja berat selama
musim tanam. Penderitaan rakyat bertambah berat dengan adanya kerja rodi
membangun jalan raya, jembatan, dan waduk. Selain itu, rakyat masih dibebani
pajak yang berat,sehingga sebagian besar penghasilan rakyat habis untuk
membayar pajak. Sementara itu di pihak Belanda, tanam paksa membawa keuntungan
yang besar.
Praktik tanam paksa mampu menutup kas negara Belanda yang kosong
sekaligus membayar utang-utang akibat banyak perang. Akhirnya, tanam paksa
dihapuskan, diawali dengan dikeluarkannya undang-undang (Regrering Reglement)
pada tahun 1854 tentang penghapusan perbudakan. Tanam paksa benar-benar
dihapuskan pada tahun 1917. Sebagai bukti, kewajiban tanam kopi di Priangan,
Manado, Tapanuli, dan Sumatra Barat dihapuskan.
Setelah tanam paksa dihapuskan, pemerintah Belanda melaksanakan politik
kolonial liberal di Indonesia dengan memberikan kebebasan pada pengusaha swasta
untuk menanamkan modal di Indonesia. Namun, pelaksanaannya tetap menyengsarakan
rakyat karena kebijakan-kebijakan yang dilaksanakan semata-mata untuk kepentingan
kolonial Belanda. Belanda tetap melaksanakan cara-cara menguasai bangsa
Indonesia dengan perjanjian, perang, dan pemecah belah.
Pelaksanaan politik kolonial liberal ternyata banyak mendatangkan
penderitaan bagi rakyat terutama buruh sebab upah yang mereka terima tidak
seperti yang tertera dalam kontrak. Akibatnya, banyak buruh yang melarikan
diri, terutama dari Deli, Sumatra Utara. Dari kenyataan di atas jelas Belanda
tetap masih melaksanakan usaha menindas bangsa Indonesia
No comments :
Post a Comment