iklan

Wednesday, 3 December 2014

Makalah Hukum Perjanjian Internasional


KATA PENGANTAR


Segala puji bagi Allah SWT, yang karena limpahan dan anugerah-Nya lah penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik. Serta shalawat beriring salam junjungan Nabi Muhammad SAW beserta para sahabatnya.
Adapun makalah ini penulis rangkum dari beberapa sumber yang dapat dipercaya yang sajiannya penulis sajikan dalam lembar Daftar Pustaka dengan harapan makalah ini dapat menambah pengetahuan kita tentang Hukum Perjanjian Internasional.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari segi isi maupun tulisan. Oleh sebab itu penulis sangat mengaharapkan kritik dan saran guna lebih menyempurnakan penulisan makalah pada masa yang akan datang.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat menambah ilmu pengetahuan dan kemampuan kita. Aamiin.

Nanga Pinoh,       November 2014
Penyusun



BAB I

PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang

Hukum Perjanjian Internasional dewasa ini telah mengalami perkembangan pesat seiring dengan perkembangan Hukum Internasional. Hubungan internasional akibat globalisasi telah ditandai dengan perubahan – perubahan mendasar, antara lain munculnya subjek – subjek baru non – negara disertai dengan meningkatnya interaksi yang intensif antara subjek – subjek baru tersebut. Perubahan mendasar tersebut bersamaan dengan karakter pergaulan internasional yang semakin tidak mengenal batas negara, berpeluang untuk melahirkan perkara – perkara hukum yang bersifat lintas negara.[1]
Perjanjian – perjanjian dewasa ini khususnya di bidang ekonomi, investasi dan perdagangan telah banyak menyentuh bukan hanya kepentingan negara sebagai pihak perjanjian melainkan juga melahirkan hak dan kewajiban terhadap individu – individu di negara pihak. Praktik di negara – negara yang telah mengalami pasar bebas menunjukkan bahwa pemahaman hukum perjanjian internasional oleh para praktisi hukum menjadi mutlak karena perjanjian internasional telah menjadi kepentingan bagi para pelaku pasar, investor, serta pedagang. Sebagai contoh dengan telah terbentuknya WTO (World Trade Organization), APEC (Asian Pasific Economic Cooperation), EEC (European Economic Council), dan masih banyak lagi perjanjian – perjanjian bilateral dan multilateral lainnya.
Hukum Internasional pun telah menyediakan dasar hukum bagi perjanjian internasional seperti yang diatur dalam Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional, Konvensi Wina 1978 terkait dengan Suksesi Negara terkait Perjanjian Internasional, serta Konvensi Wina 1986 tentang Perjanjian Internasional dan Organisasi Internasional.
Indonesia sendiri merupakan negara yang memiliki politik luar negeri bebas aktif yang berarti Indonesia tidak memihak dan juga terus berperan aktif dalam melakukan hubungan internasional. Hubungan itu dapat diwujudkan dalam bentuk perjanjian internasional. Dari perjanjian internasional yang dilakukan tentu akan membawa perubahan bagi Indonesia, baik perubahan dalam hubungannya dengan negara lain dalam dunia internasional dan juga dalam menentukan kebijakan nasional yang dibuat.
Tidak dapat diragukan lagi pada era globalisasi ini bahwa batas – batas teritorial suatu negara bukanlah sebagai penghalang bagi berbagai aktivitas antar negara, apalagi dalam bidang ekonomi, investasi dan perdagangan. Dalam perkembangan kehidupan masyarakat global yang semakin tidak mengenal batas – batas negara ini, maka kesepakatan – kesepakatan antar negara untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang dituangkan dalam bentuk perjanjian – perjanjian internasional menjadi salah satu sumber hukum yang penting. Dikarenakan, semakin banyak masalah – masalah transnasional yang penyelesaiannya hanya dapat dijangkau dengan instrumen perjanjian internasional.

B.     Rumusan Masalah

Masalah yang akan dikaji dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Apa pengertian perjanjian internasional ?
2.      Bagaimana tahap-tahap pembuatan perjanjian internasional ?
3.      Bagaimana proses terjadinya perjanjian internasional ?
4.      Bagaimana persyaratan perjanjian internasional ?
5.      Bagaimana berlakunya perjanjian internasional ?
6.      Kapan berakhirnya perjanjian internasional ?
7.      Bagaimanakah pengaruh globalisasi terhadap pentingnya Hukum Perjanjian Internasional khususnya pada Indonesia?
8.      Bagaimanakah interaksi antara perjanjian internasional sebagai hukum internasional dengan hukum nasional Indonesia?

C.    Tujuan

1.      Unutk mengethaui pengertian perjanjian internasional
2.      Untuk mengetahui tahap-tahap pembuatan perjanjian inernasional
3.      Untuk mengetahui proses terjadinya perjanjian internasional
4.      Untuk mengetahui syarat perjanjian intenrasional
5.      Untuk mengetahui berlakunya perjanjian internasional
6.      Untuk mengetahui berakhirnya perjanjian internasional
7.      Untuk mengetahui pengaruh globalisasi tehradap pentingnya hukum perjanjian internasional khususnya di Indonesia
8.      Untuk mengetahui interaksi perjanjian internasional sebagai hukum internasional dengan hukum nasional di Indonesia

D.    Ruang Lingkup Materi

Aliran Dualisme
Aliran dualisme bersumber pada teori bahwa daya ikat hukum internasional bersumber pada kemauan negara, hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem atau perangkat hukum yang terpisah.
Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh aliran dualisme untuk menjelaskan hal ini:
1.    Sumber hukum, paham ini beranggapan bahwa hukum nasional dan hukum internasional mempunyai sumber hukum yang berbeda, hukum nasional bersumber pada kemauan negara, sedangkan hukum internasional bersumber pada kemauan bersama dari negara-negara sebagai masyarakat hukum internasional;

2.    Subjek hukum internasional, subjek hukum nasional adalah orang baik dalam hukum perdata atau hukum publik, sedangkan pada hukum internasional adalah negara;
3.    Struktur hukum, lembaga yang diperlukan untuk melaksanakan hukum pada realitasnya ada mahkamah dan organ eksekutif yang hanya terdapat dalam hukum nasional. Hal yang sama tidak terdapat dalam hukum internasional.
4.    Kenyataan, pada dasarnya keabsahan dan daya laku hukum nasional tidak dipengaruhi oleh kenyataan seperti hukum nasional bertentangan dengan hukum internasional. Dengan demikian hukum nasional tetap berlaku secara efektif walaupun bertentangan dengan hukum internasional.
Maka sebagai akibat dari teori dualisme ini adalah kaidah-kaidah dari perangkat hukum yang satu tidak mungkin bersumber atau berdasar pada perangkat hukum yang lain. Dengan demikian dalam teori dualisme tidak ada hirarki antara hukum nasional dan hukum internasional karena dua perangkat hukum ini tidak saja berbeda dan tidak bergantung satu dengan yang lain tetapi juga terlepas antara satu dengan yang lainnya.
Akibat lain adalah tidak mungkin adanya pertentangan antara kedua perangkat hukum tersebut, yang mungkin adalah renvoi.[6] Karena itu dalam menerapkan hukum internasional dalam hukum nasional memerlukan transformasi menjadi hukum nasional.
Aliran Monisme
Teori monisme didasarkan pada pemikiran bahwa satu kesatuan dari seluruh hukum yang mengatur hidup manusia. Dengan demikian hukum nasional dan hukum internasional merupakan dua bagian dalam satu kesatuan yang lebih besar yaitu hukum yang mengatur kehidupan manusia. Hal ini berakibat dua perangkat hukum ini mempunyai hubungan yang hirarkis. Mengenai hirarki dalam teori monisme ini melahirkan dua pendapat yang berbeda dalam menentukan hukum mana yang lebih utama antara hukum nasional dan hukum internasional.

Ada pihak yang menganggap hukum nasional lebih utama dari hukum internasional. Paham ini dalam teori monisme disebut sebagai paham monisme dengan primat hukum nasional. Paham lain beranggapan hukum internasional lebih tinggi dari hukum nasional. Paham ini disebut dengan paham monisme dengan primat hukum internasional. Hal ini dimungkinkan dalam teori monisme.

Monisme dengan primat hukum nasional, hukum internasional merupakan kepanjangan tangan atau lanjutan dari hukum nasional atau dapat dikatakan bahwa hukum internasional hanya sebagai hukum nasional untuk urusan luar negeri.[8] Paham ini melihat bahwa kesatuan hukum nasional dan hukum internasional pada hakikatnya adalah hukum internasional bersumber dari hukum nasional. Alasan yang kemukakan adalah sebagai berikut:
1.             tidak adanya suatu organisasi di atas negara-negara yang mengatur kehidupan negara-negara;
2.             dasar hukum internasional dapat mengatur hubungan antar negara terletak pada wewenang negara untuk mengadakan perjanjian internasional yang berasal dari kewenangan yang diberikan oleh konstitusi masing-masing negara.
Monisme dengan primat hukum internasional, paham ini beranggapan bahwa hukum nasional bersumber dari hukum internasional. Menurut paham ini hukum nasional tunduk pada hukum internasional yang pada hakikatnya berkekuatan mengikat berdasarkan pada pendelegasian wewenang dari hukum internasional.
Pada kenyataannya kedua teori ini dipakai oleh negara-negara dalam menentukan keberlakuan dari hukum internasional di negara-negara. Indonesia sendiri menganut teori dualisme dalam menerapkan hukum internasional dalam hukum nasionalnya.

Perjanjian Internasional sebagai Sumber Hukum Internasional
Dalam hukum internasional terdapat beberapa sumber hukum internasional. Menurut sumber tertulis yang ada terdapat dua konvensi yang menjadi rujukan apa saja yang menjadi sumber hukum internasional. Pada Konvensi Den Haag XII, Pasal 7, tertanggal 18 Oktober 1907, yang mendirikan Mahkamah Internasional Perampasan Kapal di Laut (International Prize Court) dan dalam Piagam Mahkamah Internasional Permanen, Pasal 38 tertanggal 16 Desember 1920, yang pada saat ini tercantum dalam Pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional tertanggal 26 Juni 1945.
Sesuai dengan dua dokumen tertulis tersebut yang berisi penunjukan pada sumber hukum formal, hanya dua dokumen yang penting untuk dibahas, yaitu Piagam Mahkamah Internasional Permanen dan Piagam Mahkamah Internasional. Ini disebabkan karena Mahkamah Internasional mengenai Perampasan Kapal tidak pernah terbentuk, karena tidak tercapainya minimum ratifikasi. Dengan demikian Pasal 38 Mahkamah Internasional Permanen dan Pasal 38 ayat 1 Mahkamah Internasional, dengan demikian hukum positif yang berlaku bagi Mahkamah Internasional dalam mengadili perkara yang diajukan dihadapannya adalah:
1.         Perjanjian Internasional;
2.         Kebiasaan Internasional;
3.         Prinsip Hukum Umum;
4.         Keputusan Pengadilan dan ajaran para sarjana yang terkemuka dari berbagai negara sebagai sumber tambahan untuk menetapkan hukum.
Perjanjian internasional yang dimaksud adalah perjanjian yang dibuat atau dibentuk oleh dan diantara anggota masyarakat internasional sebagai subjek hukum internasional dan bertujuan untuk mengakibatkan hukum tertentu.
Dewasa ini dalam hukum internasional kecendrungan untuk mengatur hukum internasional dalam bentuk perjanjian intenasional baik antar negara ataupun antar negara dan organisasi internasioanal serta negara dan subjek internasional lainnya telah berkembang dengan sangat pesat, ini disebabkan oleh perkembangan yang pesat dari masyarakat internasional, termasuk organisasi internasional dan negara-negara.
Perjanjian internasional yang dibuat antara negara diatur dalam Vienna Convention on the Law of Treaties (Konvensi Wina) 1969. Konvensi ini berlaku (entry into force) pada 27 Januari 1980. Dalam Konvensi ini diatur mengenai bagaimana prosedur perjanjian internasional sejak tahap negosiasi hingga diratifikasi menjadi hukum nasional.
Banyak istilah yang digunakan untuk perjanjian internasional diantaranya adalah traktat (treaty), pakta (pact), konvensi (convention), piagam (statute), charter, deklarasi, protokol, arrangement, accord, modus vivendi, covenant, dan lain-lain. Semua ini apapun namanya mempunyai arti yang tidak berbeda dengan perjanjian internasional.
Dalam praktik beberapa negara perjanjian internasional dapat dibedakan menjadi dua golongan. Golongan pertama adalah perjanjian yang dibentuk melalui tiga tahap pembentukan yakni perundingan, penandatanganan dan ratifikasi. Golongan yang kedua adalah perjanjian yang dibentuk melalui dua tahap, yaitu perundingan dan penandatanganan.Untuk golongan pertama biasanya dilakukan untuk perjanjian yang dianggap sangat penting sehingga memerlukan persetujuan dari dari badan yang memiliki hak untuk mengadakan perjanjian (treaty making power). Hal ini biasanya berdasarkan alasan adanya pembentukan hukum baru atau menyangkut masalah keuangan negara. Sedangkan golongan kedua lebih sederhana, perjanjian ini tidak dianggap begitu penting dan memerlukan penyelesaian yang cepat.
Selanjutnya apa yang menjadi ukuran suatu perjanjian mana yang termasuk golongan yang penting, sehingga memerlukan ratifikasi dari Dewan Perwakilan Rakyat dan perjanjian mana yang tidak di Indonesia.
Proses pembentukan Perjanjian Internasional, menempuh berbagai tahapan dalam pembentukan perjanjian internasional, sebagai berikut:
1.    Penjajakan: merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang berunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional.
2.    Perundingan: merupakan tahap kedua untuk membahas substansi dan masalah-masalah teknis yang akan disepakati dalam perjanjian internasional.
3.    Perumusan Naskah: merupakan tahap merumuskan rancangan suatu perjanjian internasional.
4.    Penerimaan: merupakan tahap menerima naskah perjanjian yang telah dirumuskan dan disepakati oleh para pihak. Dalam perundingan bilateral, kesepakatan atas naskah awal hasil perundingan dapat disebut "Penerimaan" yang biasanya dilakukan dengan membubuhkan inisial atau paraf pada naskah perjanjian internasional oleh ketua delegasi masing-masing. Dalam perundingan multilateral, proses penerimaan (acceptance/approval) biasanya merupakan tindakan pengesahan suatu negara pihak atas perubahan perjanjian internasional.
5.    Penandatanganan : merupakan tahap akhir dalam perundingan bilateral untuk melegalisasi suatu naskah perjanjian internasional yang telah disepakati oleh kedua pihak. Untuk perjanjian multilateral, penandatanganan perjanjian internasional bukan merupakan pengikatan diri sebagai negara pihak. Keterikatan terhadap perjanjian internasional dapat dilakukan melalui pengesahan
(ratification/accession/acceptance/approval).
Pengesahan Pernjanjian Internasional di Indonesia 
Pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara-negara lain, organisasi internasional dan subjek hukum internasional lain adalah suatu perbuatan hukum yang sangat penting karena mengikat negara dengan subjek hukum internasional lainnya. Oleh sebab itu pembuatan dan pengesahan suatu perjanjian internasional dilakukan berdasarkan undang-undang.

Sebelum adanya Undang-Undang No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, kewenangan untuk membuat perjanjian internasional seperti tertuang dalam Pasal 11 Undang Undang Dasar 1945, menyatakan bahwa Presiden mempunyai kewenangan untuk membuat perjanjian internasional dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 11 UUD 1945 ini memerlukan suatu penjabaran lebih lanjut bagaimana suatu perjanjian internasional dapat berlaku dan menjadi hukum di Indonesia. Untuk itu melalui Surat Presiden No. 2826/HK/1960 mencoba menjabarkan lebih lanjut Pasal 11 UUD 1945 tersebut.
Pengaturan tentang perjanjian internasional selama ini yang dijabarkan dalam bentuk Surat Presiden No. 2826/HK/1960, tertanggal 22 Agustus 1960, yang ditujukan kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, dan telah menjadi pedoman dalam proses pengesahan perjanjian internasional selama bertahun-tahun. Pengesahan perjanjian internasional menurut Surat Presiden ini dapat dilakukan melalui undang-undang atau keputusan presiden, tergantung dari materi yang diatur dalam perjanjian internasional. Tetapi dalam prateknya pelaksanaan dari Surat Presiden ini banyak terjadi penyimpangan sehingga perlu untuk diganti dengan Undang-Undang yang mengatur secara khusus mengenai perjanjian internasional.
Hal ini kemudian yang menjadi alasan perlunya perjanjian internasional diatur dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2000. Dalam Undang Undang No. 24 Tahun 2000, adapun isi yang diatur dalam undang-undang tersebut adalah:
·           Ketentuan Umum
·           Pembuatan Perjanjian Internasional
·           Pengesahan Perjanjian Internasional
·           Pemberlakuan Perjanjian Internasional
·           Penyimpanan Perjanjian Internasional
·           Pengakhiran Perjanjian Internasional
·           Ketentuan Peralihan
·           Ketentuan Penutup
Dalam pengesahan perjanjian internasional terbagi dalam empat kategori, yaitu:
1.         Ratifikasi (ratification), yaitu apabila negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian internasional turut menandatangani naskah perjanjian internasional;
2.         Aksesi (accesion), yaitu apabila negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian internasional tidak turut menandatangani naskah perjanjian;
3.         Penerimaan (acceptance) atau penyetujuan (approval) yaitu pernyataan menerima atau menyetujui dari negara-negara pihak pada suatu perjanjian internasional atas perubahan perjanjian internasional tersebut;
4.         Selain itu juga ada perjanjian-perjanjian internasional yang sifatnya self-executing (langsung berlaku pada saat penandatanganan).
Dalam suatu pengesahan perjanjian internasional penandatanganan suatu perjanjian tidak serta merta dapat diartikan sebagai pengikatan para pihak terhadap perjanjian tersebut. Penandatanganan suatu perjanjian internasional memerlukan pengesahan untuk dapat mengikat. Perjanjian internasional tidak akan mengikat para pihak sebelum perjanjian tersebut disahkan.
Seseorang yang mewakili pemerintah dengan tujuan menerima atau menandatangani naskah suatu perjanjian atau mengikatkan negara terhadap perjanjian internasional, memerlukan Surat Kuasa (Full Powers). Pejabat yang tidak memerlukan surat kuasa adalah Presiden dan Menteri.
Tetapi penandatanganan suatu perjanjian internasional yang menyangkut kerjasama teknis sebagai pelaksanaan dari perjanjian yang sudah berlaku dan materinya berada dalam lingkup kewenangan suatu lembaga negara atau lembaga pemerintah, baik departemen maupun non-departemen, dilakukan tanpa memerlukan surat kuasa.

Pengesahan perjanjian internasional oleh pemerintah dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian interansional tersebut. Pengesahan suatu perjanjian internasional dilakukan berdasarkan ketetapan yang disepakati oleh para pihak. Perjanjian internasional yang memerlukan pengesahan mulai berlaku setelah terpenuhinya prosedur pengesahan yang diatur dalam undang-undang.
Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang atau keputusan Presiden. Pengesahan dengan undang-undang memerlukan persetujuan DPR. Pengesahan dengan keputusan Presiden hanya perlu pemberitahuan ke DPR.
Pengesahan perjanjian internasional dilakukan melalui undang-undang apabila berkenaan dengan:
·           masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;
·           perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara;
·           kedaulatan atau hak berdaulat negara;
·           hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
·           pembentukan kaidah hukum baru;
·           pinjaman dan/atau hibah luar negeri.
Di dalam mekanisme fungsi dan wewenang, DPR dapat meminta pertanggung jawaban atau keterangan dari pemerintah mengenai perjanjian internasional yang telah dibuat. Apabila dipandang merugikan kepentingan nasional, perjanjian internasional tersebut dapat dibatalkan atas permintaan DPR, sesuai dengan ketentuan yang ada dalam undang-undang No. 24 tahun 2000.
Indonesia sebagai negara yang menganut paham dualisme, hal ini terlihat dalam Pasal 9 ayat 2 UU No. 24 tahun 2000, dinyatakan bahwa:
”Pengesahan perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat(1) dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden.” 
Dengan demikian pemberlakuan perjanjian internasional ke dalam hukum nasional indonesia tidak serta merta. Hal ini juga memperlihatkan bahwa Indonesia memandang hukum nasional dan hukum internasional sebagai dua sistem hukum yang berbeda dan terpisah satu dengan yang lainnya.
Perjanjian internasional harus ditransformasikan menjadi hukum nasional dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Perjanjian internasional sesuai dengan UU No. 24 tahun 2000, diratifikasi melalui undang-undang dan keputusan presiden. Undang-undang ratifikasi tersebut tidak serta merta menjadi perjanjian internasional menjadi hukum nasional Indonesia, undang-undang ratifikasi hanya menjadikan Indonesia sebagai negara terikat terhadap perjanjian internasional tersebut. Untuk perjanjian internasional tersebut berlaku perlu dibuat undang-undang yang lebih spesifik mengenai perjanjanjian internasional yang diratifikasi, contoh Indonesia meratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights melalui undang-undang, maka selanjutnya Indonesia harus membuat undang-undang yang menjamin hak-hak yang ada di covenant tersebut dalam undang-undang yang lebih spesifik.
Perjanjian internasional yang tidak mensyaratkan pengesahan dalam pemberlakuannya, biasanya memuat materi yang bersifat teknis atau suatu pelaksana teknis terhadap perjanjian induk. Perjanjian internasional seperti ini dapat lansung berlaku setelah penandatanganan atau pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatik, atau melalui cara lain yang disepakati dalam perjanjian oleh para pihak.
Perjanjian yang termasuk dalam kategori ini diantaranya adalah perjanjian yang materinya mengatur secara teknis kerjasama bidang pendidikan, sosial, budaya, pariwisata, penerangan kesehatan, pertanian, kehutanan dan kerjasam antar propinsi atau kota. Perjanjian internasional mulai berlaku dan mengikat para pihak setelah memenuhi ketentuan yang ditetapkan dalam perjanjian tersebut.




BAB II

PEMBAHASAN


A.    Pengertian Perjanjian Internasional

Hukum Perjanjian Internasional telah berkembang pesat dan telah terkodifikasi ke dalam berbagai konvensi internasional seperti Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional, Konvensi Wina 1986 tentang Perjanjian Internasional dan Organisasi Internasional, Konvensi Wina 1978 tentang Suksesi Negara terkait Perjanjian Internasional. Dalam hukum internasional dewasa ini ada kecenderungan mengatur hukum perjanjian antara organisasi internasional dengan organisasi internasional atau antara organisasi internasional dengan subjek hukum internasional lain secara tersendiri.
Menurut Mochtar Kusumaatmaja, perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan oleh masyarakat bangsa – bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat – akibat hukum tertentu. Dalam Pasal 2 Konvensi Wina 1969, perjanjian internasional didefinisikan sebagai suatu persetujuan yang dibuat antara negara dalam bentuk tertulis, dan diatur oleh Hukum Internasional, apakah dalam instrumen tunggal atau lebih yang berkaitan dan apapun nama yang diberikan padanya. Definisi perjanjian internasional kemudian di kembangkan oleh Pasal 1 ayat (3) Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1999 Tentang Hubungan Luar Negeri dimana dijelaskan bahwa perjanjian internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan sebutan apapun, yang diatur oleh Hukum Internasional dan dibuat secara tertulis oleh pemerintah Republik Indonesia dengan satu atau lebih negara, organisasi atau subjek hukum internasional lainnya, serta menimbulkan hak dan kewajiban pada pemerintah Republik Indonesia yang bersifat hukum publik.
Di dalam Pasal 1 ayat (1) Undang – undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional dikatakan bahwa perjanjian internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan nama tertentu yang diatur dalam Hukum Internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.
Bentuk dan nama perjanjian internasional dalam praktiknya cukup beragam, antara lain:
1.        Traktat (Treaty)
Menurut pengertian umum, treaty mencakup segala macam bentuk perjanjian internasional. Sedangkan menurut pengertian khusus, Treaty merupakan perjanjian yang paling penting dan sangat formal dalam urusan perjanjian. Dalam bahasa istilah, Treaty disebut sebagai perjanjian internasional.
2.        Konvensi (Convention)
Pasal 38 ayat (1) huruf a Statuta Mahkamah Internasional menyebut, Konvensi Internasional sebagai salah satu sumber Hukum Internasional. Istilah Konvensi juga mencakup Perjanjian Internasional secara umum dan juga digunakan untuk perjanjian – perjanjian multilateral yang beranggotakan banyak pihak.
3.        Deklarasi (Declaration)
Deklarasi merupakan perjanjian yang berisi ketentuan – ketentuan umum dimana para pihak berjanji untuk melakukan kebijaksanaan – kebijaksanaan tertentu di masa yang akan datang. Deklarasi yang dibuat tersebut biasanya hanya berisi prinsip pernyataan – pernyataan umum.
Suatu hal yang tidak dapat di pungkiri ialah saling membutuhkannya antara negara yang satu dengan negara lainnya yang di berbagai lapangan kehidupan, tentunya hal tersebut mengakibatkan hubungan yang terus – menerus bahkan tetap antar bangsa – bangsa. Sehingga tentunya diperlukan suatu aturan untuk memelihara dan mengatur hubungan yang demikian tersebut.
Seiring dengan pesatnya era globalisasi, perkembangan hukum internasional pun telah mengalami perubahan-perubahan mendasar, antara lain munculnya subjek-subjek baru non-negara yang pada awalnya negara adalah satu – satunya subjek yang diakui dan kedudukannya tertinggi dalam dunia internasional. Namun, globalisasi membawa perubahan hal tersebut dalam studi hubungan internasional dan mengalami perubahan yang signifikan karenanya. Perubahan akibat terglobalisasinya studi hubungan internasional, maka lahirlah berbagai aktor – aktor baru selain negara seperti organisasi antarpemerintah (IGO), organisasi nonpemerintah (NGO), serta korporasi multinasional (MNC). Subjek – subjek baru ini kemudian diakui eksistensinya dalam kancah internasional dan memiliki peranannya masing – masing dalam hubungan internasional. Selain itu dengan meningkatnya interaksi yang intensif antar subjek-subjek baru tersebut. Disebabkan oleh perubahan mendasar tersebut, semakin berpeluang lahirnya perkara-perkara hukum yang bersifat lintas negara. Sehingga hukum perjanjian internasional telah mengikat di semua sektor kehidupan manusia.

B.     Tahap – Tahap Pembuatan Perjanjian Internasional

Menurut Undang-Undang nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, tahap-tahap Perjanjian Internasional (proses pembuatan perjanjian Internasional) adalah sebagai berikut :
·      Tahap Penjajakan: merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang berunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional.
·      Tahap Perundingan: merupakan tahap kedua untuk membahas substansi dan masalah2 teknis yang akan disepakati dalam perjanjian internasional.
·      Tahap Perumusan Naskah: merupakan tahap merumuskan rancangan suatu perjanjian internasional.
·      Tahap Penerimaan: merupakan tahap menerima naskah perjanjian yang telah dirumuskan dan disepakati oleh para pihak. Dalam perundingan bilateral, kesepakatan atas naskah awal hasil perundingan dapat disebut “Penerimaan” yang biasanya dilakukan dengan membubuhkan inisial atau paraf pada naskah perjanjian internasional oleh ketua delegasi masing-masing. Dalam perundingan multilateral, proses penerimaan (acceptance/ approval) biasanya merupakan tindakan pengesahan suatu negara pihak atas perubahan perjanjian internasional.
·      Tahap Penandatanganan: merupakan tahap akhir da1am perundingan bilateral untuk melegalisasi suatu naskah perjanjian internasional yang telah disepakati oleh kedua pihak. Untuk perjanjian multilateral, penandantanganan perjanjian internasional bukan merupakan pengikatan diri sebagai negara pihak. Keterikatan terhadap perjanjian Internasional (Menurut Pasal 6 Ayat 1)
·      Tahap Pengesahan: Pengesahan suatu perjanjian internasional dilakukan berdasarkan ketetapan yang disepakati oleh para pihak. Perjanjian internasional yang memerlukan pengesahan akan mulai berlaku setelah terpenuhinya prosedur pengesahan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. Setiap undang-undang atau keputusan presiden tentang pengesahan perjanjian internasional ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Pengesahan dengan undang-undang memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Pengesahan dengan keputusan Presiden selanjutnya diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Pengesahan perjanjian internasional melalui undang-undang dilakukan berdasarkan materi perjanjian dan bukan berdasarkan bentuk dan nama(nomenclature) perjanjian. Klasifikasi menurut materi perjanjian dimaksudkan agar tercipta kepastian hukum dan keseragaman atas bentuk pengesahan perjanjian internasional dengan undang-undang. Mekanisme dan prosedur pinjaman dan/atau hibah luar negeri beserta persetujuannya oleh Dewan Perwakilan Rakyat akan diatur dengan undang-undang tersendiri. (Menurut Pasal 9).

C.    Proses Terjadinya Perjanjian Internasional

Komponen-komponen yang harus terdapat dalam Hubungan Internasional adalah :
1.         International Politics (Politik Internasional)
2.         The Study of Forchight Affair (studi tentang peristiwa internasional)
3.         International Law (HUkum Internasional)
4.         International Organitation of Administrattion(organisasi adminnistrasi Internasional)
          Proses pembentukan Perjanjian Internasional, menempuh berbagai tahapan dalam pembentukan perjanjian internasional, sebagai berikut:
1.         Penjajakan: merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang berunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional.
2.         Perundingan: merupakan tahap kedua untuk membahas substansi dan masalah-masalah teknis yang akan disepakati dalam perjanjian internasional.
3.         Perumusan Naskah: merupakan tahap merumuskan rancangan suatu perjanjian internasional.
4.         Penerimaan: merupakan tahap menerima naskah perjanjian yang telah dirumuskan dan disepakati oleh para pihak. Dalam perundingan bilateral, kesepakatan atas naskah awal hasil perundingan dapat disebut “Penerimaan” yang biasanya dilakukan dengan membubuhkan inisial atau paraf pada naskah perjanjian internasional oleh ketua delegasi masing-masing. Dalam perundingan multilateral, proses penerimaan (acceptance/approval) biasanya merupakan tindakan pengesahan suatu negara pihak atas perubahan perjanjian internasional.
5.         Penandatanganan : merupakan tahap akhir dalam perundingan bilateral untuk melegalisasi suatu naskah perjanjian internasional yang telah disepakati oleh kedua pihak. Untuk perjanjian multilateral, penandatanganan perjanjian internasional bukan
6.         merupakan pengikatan diri sebagai negara pihak. Keterikatan terhadap perjanjian internasional dapat dilakukan melalui pengesahan (ratification/accession/acceptance/approval).

D.    Persyarat Perjanjian Internasional

Unsur-unsur penting dalam persyaratan perjanjian internasional adalah :
1.         Harus dinyatakan secara resmi
2.         Bermaksud untuk membatasi, meniadakan atau mengubah akibat hukum dari ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam perjanjian tersebut.
Berkaitan dengan persyaratan perjanjian internasional tersebut, terdapat 2 teori yang berkembang:
1.         Unanimity Principle (teori kebulatan suara), yaitu persyaratan yang diajukan hanya berlaku bagi negara yang mengajukan apabila diterima oleh negara peserta lainnya.
2.         Teori Pan Amerika, yaitu bahwa perjanjian itu mengikat negara yang mengajukan persyaratan dengan negara yang menerima.

E.     Berlakunya perjanjian internasional

1.         sejak tanggal yang ditentukan dalam piagam perjanjian, atau menurut yang disetujui oleh peserta perjanjian
2.         jika tidak ditentukan maka perjanjian ulai berlaku sejak adanya pernyataan persetujuan
3.         jika persetuuan suatu negara untuk diikat oleh perjanjian timbul setelah perjanjian itu berlaku, maka perjanjian mulai berlaku bagi negara itu pada tanggal tersebut, kecuali jika ditentukan lain.

F.     Pelaksanaan Perjanjian Internasional

Ketaatan terhadap perjanjian internasional dilakukan berdasarkan prinsip berikut :
1.      Pact sun Servanda, yaitu isi perjanjian merupakan hukum yang mengikat bagi peserta perjanjian, sehingga perjanjian tersebut harus ditaati.
2.      Kesadaran Hukum Nasional, yaitu isi perjanjian internasional dapat ditaati opelh suatu negara jika tidak bertentangan dengan hukum nasional atau ideologi  negara bersangkutan.

G.    Kapan Berakhirnya Perjanjian Internasional

             Sebab-sebab berakhirnya suatu perjanjian internasional
Penyebab berakhirnya perjanjian internasional adalah sebagai berikut :
·         Terdapat kesepakatan para pihak melalui prosedur yang ditetapkan
·         Terdapat perubahan mendasar yang mempengaruhi pelaksanaan perjanjian
·         Salah satu pihak tidak melaksanakan atau melanggar ketentuan dalam perjanjian
·         Pengakhiran perjanjian sesuai dengan ketentuan dalam perjanjian tersebut
·         Masa berlakunya perjanjian tersebut telah habis
·         Adanya persetujuan dari para pihak untuk mengakhiri perjanjian tersebut
·         Salah satu pihak perjanjian menghilang atau punahnya objek perjanjian tersebut
·         Adanya perjanjian baru antara para pihak yang kemudian meniadakan perjanjianyang terdahulu
·         Syarat-syarat tentang pengakhiran perjanjian sesuai dengan ketentuan perjanjiantersebut telah dipenuh
·         Perjanjian secara sepihak diakhiri oleh salah satu pihak dan pengakhiran itu       diterimaoleh pihak lain

H.    Pengaruh Globalisasi terhadap Pentingnya Hukum Perjanjian Internasional khususnya pada Indonesia

Globalisasi merupakan sebuah masa dimana terjadi perubahan di segala bidang dan perubahan – perubahan yang terjadi tersebut memberikan dampak positif maupun negatif di setiap bidang. Kata globalisasi pertama kali digunakan oleh Theodore Levitte pada tahun 1985. Namun, fenomena pertama kali yang menandai adanya globalisasi tidak bisa dinyatakan dengan satu fenomena atau kejadian, karena hal tersebut tergantung dari sudut pandang individu. Pada zaman sekarang ini kata globalisasi bukanlah kata yang asing untuk didengar. Era globalisasi dewasa ini sudah menjadi kenyataan yang harus dihadapi setiap negara.[2]
Di era globalisasi seperti saat ini komunikasi lintas negara bukan merupakan hal yang sulit untuk dilakukan. Akses untuk melakukan hubungan lintas negara tidak dapat diragukan lagi kemudahannya dengan didukung teknologi yang terus berkembang. Hubungan yang dilakukan tidak hanya sebatas  antar perseorangan namun juga lebih kompleks pada hubungan antara subjek-subjek hukum internasional, salah satunya negara. Negara melakukan hubungan dengan negara lain didasari keinginan untuk melengkapi kebutuhannya karena tidak semua negara dapat memenuhi kebutuhannya sendiri. Hubungan tersebut dapat diwujudkan melalui perjanjian internasional.
Setiap negara pun tidak dapat menghindari adanya saling mempengaruhi kepentingan. Jika saat dulu perebutan pengaruh menggunakan jalan kekerasan (perang), maka di era globalisasi ini forum yang dijadikan arena “peperangan” tersebut adalah perjanjian internasional.
Perjanjian internasional menjadi salah satu tolok ukur keaktifan negara dalam berhubungan dengan negara lain. Untuk itu perlu dimengerti seberapa pentingnya perjanjian internasional bagi suatu negara. Perjanjian internasional penting bagi suatu negara dalam mendorong kemajuannya, karena melalui perjanjian internasional negara tidak hanya mendapat keuntungan dari perjanjian yang dibuat tetapi juga akses internasional.[3]
Perwujudan atau realisasi hubungan – hubungan internasional dalam bentuk perjanjian internasional sudah sejak lama dilakukan oleh negara – negara di dunia. Faktor – faktor lain yang mendorong perkembangan dari perjanjian internasional seperti :
a.         Semakin besar dan semakin meningkatnya saling ketergantungan antara umat manusia di dunia, yang mendorong diadakannya kerjasama internasional yang dirumuskan dalam bentuk perjanjian internasional.
b.         Perbedaan falsafah dan pandangan hidup, kebudayaan, ras, agama atau kepercayaan tidak lagi merupakan faktor penghambat dalam mengadakan hubungan dan kerjasama hingga kancah internasional
c.         Kemajuan iptek yang membawa dampak positif dan negatif mendorong perlunya pengaturan – pengaturan tegas dan pasti, yang dirumuskan dalam bentuk perjanjian internasional
d.        Substansi yang diatur dalam perjanjian internasional tidak hanya masalah atau objek yang di ada di bumi saja, melainkan juga mencakup objek – objek yang ada di luar bumi seperti tentang ruang angkasa, tata surya dan lainnya.
e.         Pengaturan suatu masalah dalam bentuk perjanjian internasional lebih menjamin kepastian hukum dan kejelasan, sehinggan memperkecil kemungkinan timbulnya perselisihan atau persengketaan antar para pihak.
Indonesia tentu saja tidak dapat menghindar dari arus globalisasi. Perjanjian – perjanjian internasional yang telah diikuti pada akhirnya ikut mempengaruhi hukum nasional Indonesia, seperti TRIPs, WTO maupun UDHR (United Declaration of Human Rights).
Globalisasi yang mewarnai kehidupan internasional saat ini telah menciptakan interaksi yang intensif antara Indonesia dengan masyarakat internasional bukan hanya antar pemerintah tetapi juga antar individu. Interaksi ini akan mengakibatkan meningkatnya persentuhan-persentuhan hukum antara Indonesia dengan negara-negara lainnya dan bahkan dalam tingkat tertentu akan menimbulkan tumpang tindih antara hukum internasional termasuk perjanjian internasional dengan hukum nasional. Dengan fenomena ini, maka cepat atau lambat, publik hukum Indonesia dari seluruh lapisan harus bersentuhan dengan perjanjian internasional dan akan semakin menepis anggapan bahwa hukum perjanjian internasional hanya milik diplomat saja.
Peradilan di Indonesia juga telah dihadapkan oleh eksistensi hukum positif yang bersumber dari hukum internasional khususnya perjanjian internasional, semisal beberapa yurisprudensi peradilan Indonesia telah menggunakan dalil – dalil hukum perjanjian internasional.[4] Salah satu dari perjanjian internasional yang berhubungan dengan peradilan di Indonesia saat ini adalah perjanjian ekstradisi. Perjanjian tersebut ramai dibicarakan pada kasus Nazaruddin yang melarikan diri ke Columbia dan ditangkap disana karena terkait dengan suatu kasus dugaan korupsi. Dengan perjanjian tersebut,  Pemerintah Indonesia meminta Pemerintah Columbia untuk mengangkap dan memulangkan Nazaruddin ke Indonesia untuk keperluan proses penyidikan. Ekstradisi sendiri menurut I Wayan Parthiana, S.H. adalah penyerahan yang dilakukan secara formal baik berdasarkan perjanjian ekstradisi yang diadakan sebelumnya atau berdasarkan prinsip timbal balik, atas seseorang yang tertuduh (terdakwa) atau atas seorang yang telah dijatuhi hukuman atas kejahatan yang dilakukannya (terpidana) oleh negara tempatnya melarikan diri atau berada atau bersembunyi kepada negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau menghukumnya atas permintaan dari negara tersebut, dengan tujuan untuk mengadili atau melaksanakan hukumannya.[5] Hal ini pun menjadikan perjanjian internasional sebagai sumber hukum yang hidup. 
Globalisasi dibidang perdagangan dan investasi serta lahirnya pasar bebas telah melahirkan pula pola hubungan yang lintas batas teritorial negara, yang mengharuskan adanya pemahaman terhadap hukum perjanjian internasional. Perjanjian-perjanjian dewasa ini khususnya dibidang ekonomi, investasi, dan perdagangan telah banyak menyentuh bukan hanya kepentingan negara sebagai pihak perjanjian melainkan juga melahirkan hak dan kewajiban terhadap individu-individu di negara pihak.[6] Salah satu contoh konkrit adalah peran Indonesia dalam APEC (Asia Pacific Economic Cooperation). Menurut Abdul Hakim, M.S., APEC bernilai strategis bagi Indonesia lantaran besarnya potensi yang ada. Merujuk data yang dilansir oleh kesekretariatan APEC, negara – negara yang tergabung dalam forum internasional ini merupakan representasi dari 47 persen transaksi perdagangan dunia. Selain itu, jumlah penduduk di 21 negara anggota APEC juga merupakan penyumbang 40 persen dari populasi penduduk dunia. Tentu dengan potensi sebesar itu, Indonesia sangat berkepentingan untuk menjalin kerjasama dengan negara – negara anggota guna terus menjaga baiknya trend ekonomi Indonesia saat ini.
Lalu, dengan meningkatnya jumlah perjanjian internasional lain di bidang HAM dan lingkungan hidup yang diratifikasi oleh Indonesia juga memberikan dampak tersendiri bagi perkembangan hukum perjanjian internasional di Indonesia. Kecenderungan ini semakin mendorong keperluan bagi penegak hukum di Indonesia untuk semakin mendalami hukum perjanjian internasional karena pemberlakuannya yang tidak lagi mengenal batas dan kedaulatan negara.

I.       Interaksi Perjanjian Internasional sebagai Hukum Internasional dengan Hukum Nasional di Indonesia

Globalisasi hubungan internasional dewasa ini telah semakin meningkatkan persentuhan dan interaksi antara Hukum Internasional khususnya perjanjian internasional dengan Hukum Nasional di Indonesia. Proses-proses ekonomi yang semakin global disertai berbagai bentuk aktivitas transnasionalnya akan terus berlangsung dan tidak mungkin dibendung. Suasana perubahan ke arah kehidupan masyarakat antar bangsa-bangsa yang semakin menyatu, tentu saja mempengaruhi model pranata hukum yang harus dipersiapkan. Jika penyiapan pranata hukum yang dilakukan negara nasional seperti Indonesia semata-mata menggunakan model kodifikasi sebagaimana berlangsung selama ini, dikhawatirkan model semacam itu akan sulit mengadaptasikan diri dengan berbagai proses perubahan yang berlangsung sangat cepat.[7]
Aktivitas internasional akan mempengaruhi arah dan perkembangan hukum nasional bangsa-bangsa, termasuk Indonesia. Pengaruh itu antara lain muncul dalam wujudnya kenyataan bahwa bidang hukum internasional semakin mengalami proses nasionalisasi, dimana arena internasional bagi praktik-praktik hukum semakin terbuka luas, dan semakin terasa betapa kekuatan-kekuatan dan logika-logika yang bekerja dalam bidang ekonomi, negara, dan tatanan internasional, telah berdampak pada bidang hukum.
Perjanjian internasional yang dibuat oleh Indonesia, telah meningkat jumlahnya dewasa ini. Pada hakikatnya bersifat lintas sektor dan menjamah beberapa disiplin ilmu hukum di Indonesia seperti Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara, dan bahkan Hukum Perdata. Dengan demikian, pada hakikatnya semua pemangku kebijakan di pemerintahan, legislatif, dan yudikatif memiliki keterlibatan kuat terhadap perjanjian internasional.
Proses nasionalisasi terhadap kaidah – kaidah hukum internasional menjadi hukum nasional berupa akseptasi atas berbagai kumpulan norma yang diwujudkan melalui kesepakatan negara-negara, baik yang bersifat bilateral maupun multilateral. Di dalam hukum perjanjian internasional akseptasi semacam itu dikenal dengan istilah pengesahan atau ratifikasi. Ratifikasi di sini merupakan tindakan suatu negara yang dipertegas oleh pemberian persetujuannya untuk diikat dengan suatu perjanjian internasional. Oleh karena itu, nasionalisasi norma-norma hukum internasional dalam suatu negara pada dasarnya merupakan suatu proses masuk dan diterimanya norma internasional ke dalam pranata hukum nasional suatu negara. Selanjutnya norma-norma tersebut menjadi bagian dari hukum positip negara tersebut. Hal ini sesuai dengan teori transformasi yang dianut oleh Indonesia, bahwa norma – norma hukum internasional dalam hal ini perjanjian internasional, baru bisa dijadikan sebagai suatu sumber hukum nasional jika telah diratifikasi menggunakan suatu peraturan perundang – undangan Indonesia.[8]
Pada sisi lain, apa yang di atas disebut sebagai arena internasional bagi praktik hukum juga telah tercipta. Sebagai contoh, mekanisme penyelesaian sengketa niaga yang melibatkan pihak-pihak multinasional, hampir dapat dipastikan telah menggeserkan peran dan kompetensi pengadilan negeri. Ada gejala ke arah pengesampingan cara-cara konvensional untuk menyelesaikan konflik melalui institusi hukum negara yang bernama pengadilan negeri. Terlebih lagi jika sengketa niaga itu melibatkan pihak-pihak multinasional.
Dan juga, untuk menghadapi kawasan Asia Pasifik sebagai wilayah perdagangan bebas mendatang, mau tidak mau Indonesia harus meninjau kembali perangkat norma hukum yang telah tersedia dan segera membenahi model pembentukan pranata hukum secara sistematis dan berencana. Hal itu menjadi mutlak perlu untuk dilakukan, mengingat di masa-masa mendatang timbulnya kasus-kasus sengketa niaga sebagai akibat berlangsungnya transaksi niaga multinasional semakin tidak mungkin dihindarkan dan karena kasus-kasus yang muncul maupun putusan-putusan yang dihasilkan tidak lagi hanya bernuansa lokal nasional, tapi sudah berkembang ke kancah internasional.[9]
Berikut ini merupakan contoh – contoh perjanjian internasional berupa konvensi yang dinasionalisasikan norma – normanya ke dalam hukum nasional oleh Indonesia. Dikaji berdasarkan pihak-pihak yang mengadakannya, konvensi ini digolongkan sebagai perjanjian multilateral, yakni perjanjian internasional yang dilakukan antara banyak pihak. Adapun konvensi itu adalah:
-          Pengesahan Konvensi Telekomunikasi Internasional (International Telecommunication Convention) Nairobi 1982, dengan instrumen nasional Undang – Undang Nomor 11 tahun 1985
-          Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hukum Laut (United Nations Convention the Law of the Sea) New York 1982, dengan instrumen nasional Undang – Undang Nomor 17 tahun 1985.

Contoh interaksi antara perjanjian internasional dengan hukum nasional Indonesia yang lain yaitu ratifikasi terhadap WTO Agreement yang kemudian disusul dengan pengundangan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 merupakan pintu gerbang bagi perkembangan globalisasi ekonomi.
Ratifikasi WTO Agreement menimbulkan sebuah konsekuensi yuridis bahwa pemerintah Indonesia harus melakukan harmonisasi ketentuan hukum nasionalnya khususnya di bidang ekonomi agar sesuai dengan standar-standar WTO Agreement.
Disadari maupun tidak, kondisi objektif yang dialami Indonesia dari hari ke hari merupakan bukti bahwa sebagai anggota masyarakat bangsa-bangsa Indonesia semakin terkooptasi ke dalam kancah dan percaturan ekonomi global. Hingga muncul fenomena institusi hukum negaranya pun sungguh sangat kena implikasinya dalam konteks pencaturan internasional





BAB III

PENUTUP

A.      Kesimpulan

1.      Eksistensi perjanjian internasional semakin meningkat dalam era globalisasi dikarenakan perkembangan kehidupan masyarakat global yang semakin tidak mengenal batas – batas negara, maka kesepakatan – kesepakatan antar negara untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang dituangkan dalam bentuk perjanjian – perjanjian internasional menjadi salah satu sumber hukum yang penting. Dikarenakan pula, semakin banyak masalah – masalah transnasional yang penyelesaiannya hanya dapat dijangkau dengan instrumen perjanjian internasional. Indonesia pun tidak bisa menghindar dari arus globalisasi tersebut, apalagi jika meninjau semakin banyaknya perjanjian – perjanjian internasional yang diikuti oleh Indonesia, baik perjanjian bilateral maupun multilateral.
2.      Aktivitas internasional telah mempengaruhi arah dan perkembangan hukum nasional bangsa-bangsa, termasuk Indonesia. Pengaruh itu antara lain muncul dalam wujudnya kenyataan bahwa bidang hukum internasional semakin mengalami proses nasionalisasi, sebaliknya arena internasional bagi praktik-praktik hukum semakin terbuka luas, dan semakin terasa betapa kekuatan-kekuatan dan logika-logika yang bekerja dalam bidang ekonomi, negara, dan tatanan internasional, telah berdampak pada bidang hukum. Oleh karena itu, interaksi antara hukum internasional, dalam hal ini perjanjian internasional semakin kuat eksistensinya terhadap hukum nasional Indonesia. Dibuktikan dengan banyaknya konvensi – konvensi yang telah diratifikasi oleh instrumen hukum nasional Indonesia.

B.       Saran

Perkembangan hukum perjanjian internasional dalam era globalisasi tentu banyak mempengaruhi pembentukan – pembentukan hukum nasional negara – negara di dunia, tak terkecuali Indonesia. Hal ini pun akan menyebabkan tumpang tindih antara hukum internasional dengan hukum nasional sendiri. Indonesia harus tetap menyaring norma – norma internasional yang sesuai dengan dasaar dari semua dasar hukum di Indonesia yaitu Pancasila. Walaupun globalisasi sangat membawa dampak bagi kehidupan internasional, baik itu antar negara maupun individu, sebaiknya norma – norma internasional itu tidak melunturkan identitas bangsa Indonesia. Keselarasan antara norma – norma internasional dengan norma – norma yang telah hidup dalam bangsa Indonesia sejak lama itu harus dikondisikan dengan baik. Karena identitas suatu bangsa adalah salah satu hal penting yang mendukung negara tersebut tetap eksis dalam blantika kehidupan yang sudah hampir tidak mengenal batas – batas teritorial negara ini















DAFTAR PUSTAKA


http://ahmadbugis.blogspot.com/2013/09/makalah-perjanjian-internasional.html










                 

                           






No comments :

Post a Comment