KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT, yang
karena limpahan dan anugerah-Nya lah penulis dapat menyelesaikan tugas makalah
ini dengan baik. Serta shalawat beriring salam junjungan Nabi Muhammad SAW
beserta para sahabatnya.
Adapun makalah ini penulis rangkum
dari beberapa sumber yang dapat dipercaya yang sajiannya penulis sajikan dalam
lembar Daftar Pustaka dengan harapan makalah ini dapat menambah pengetahuan
kita tentang Hukum Perjanjian Internasional.
Penulis menyadari bahwa penulisan
makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari segi isi maupun tulisan.
Oleh sebab itu penulis sangat mengaharapkan kritik dan saran guna lebih
menyempurnakan penulisan makalah pada masa yang akan datang.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat
menambah ilmu pengetahuan dan kemampuan kita. Aamiin.
Nanga Pinoh, November 2014
Penyusun
DAFTAR ISI
I.
Interaksi
Perjanjian Internasional sebagai Hukum Internasional dengan Hukum Nasional di
Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum
Perjanjian Internasional dewasa ini telah mengalami perkembangan pesat seiring
dengan perkembangan Hukum Internasional. Hubungan internasional akibat
globalisasi telah ditandai dengan perubahan – perubahan mendasar, antara lain
munculnya subjek – subjek baru non – negara disertai dengan meningkatnya interaksi
yang intensif antara subjek – subjek baru tersebut. Perubahan mendasar tersebut
bersamaan dengan karakter pergaulan internasional yang semakin tidak mengenal
batas negara, berpeluang untuk melahirkan perkara – perkara hukum yang bersifat
lintas negara.[1]
Perjanjian
– perjanjian dewasa ini khususnya di bidang ekonomi, investasi dan perdagangan
telah banyak menyentuh bukan hanya kepentingan negara sebagai pihak perjanjian
melainkan juga melahirkan hak dan kewajiban terhadap individu – individu di
negara pihak. Praktik di negara – negara yang telah mengalami pasar bebas
menunjukkan bahwa pemahaman hukum perjanjian internasional oleh para praktisi
hukum menjadi mutlak karena perjanjian internasional telah menjadi kepentingan
bagi para pelaku pasar, investor, serta pedagang. Sebagai contoh dengan telah
terbentuknya WTO (World Trade
Organization), APEC (Asian Pasific
Economic Cooperation), EEC (European
Economic Council), dan masih banyak lagi perjanjian – perjanjian bilateral
dan multilateral lainnya.
Hukum Internasional pun
telah menyediakan dasar hukum bagi perjanjian internasional seperti yang diatur
dalam Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional, Konvensi Wina 1978
terkait dengan Suksesi Negara terkait Perjanjian Internasional, serta Konvensi
Wina 1986 tentang Perjanjian Internasional dan Organisasi Internasional.
Indonesia
sendiri merupakan negara yang memiliki politik luar negeri bebas aktif yang
berarti Indonesia tidak memihak dan juga terus berperan aktif dalam melakukan
hubungan internasional. Hubungan itu dapat diwujudkan dalam bentuk perjanjian
internasional. Dari perjanjian internasional yang dilakukan tentu akan membawa
perubahan bagi Indonesia, baik perubahan dalam hubungannya dengan negara lain
dalam dunia internasional dan juga dalam menentukan kebijakan nasional yang
dibuat.
Tidak
dapat diragukan lagi pada era globalisasi ini bahwa batas – batas teritorial
suatu negara bukanlah sebagai penghalang bagi berbagai aktivitas antar negara,
apalagi dalam bidang ekonomi, investasi dan perdagangan. Dalam perkembangan
kehidupan masyarakat global yang semakin tidak mengenal batas – batas negara
ini, maka kesepakatan – kesepakatan antar negara untuk menyelesaikan berbagai
persoalan yang dituangkan dalam bentuk perjanjian – perjanjian internasional menjadi
salah satu sumber hukum yang penting. Dikarenakan, semakin banyak masalah –
masalah transnasional yang penyelesaiannya hanya dapat dijangkau dengan
instrumen perjanjian internasional.
B. Rumusan Masalah
Masalah yang
akan dikaji dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Apa
pengertian perjanjian internasional ?
2. Bagaimana
tahap-tahap pembuatan perjanjian internasional ?
3. Bagaimana
proses terjadinya perjanjian internasional ?
4. Bagaimana
persyaratan perjanjian internasional ?
5. Bagaimana
berlakunya perjanjian internasional ?
6. Kapan
berakhirnya perjanjian internasional ?
7. Bagaimanakah
pengaruh globalisasi terhadap pentingnya Hukum Perjanjian Internasional
khususnya pada Indonesia?
8. Bagaimanakah
interaksi antara perjanjian internasional sebagai hukum internasional dengan
hukum nasional Indonesia?
C. Tujuan
1. Unutk
mengethaui pengertian perjanjian internasional
2. Untuk
mengetahui tahap-tahap pembuatan perjanjian inernasional
3. Untuk
mengetahui proses terjadinya perjanjian internasional
4. Untuk
mengetahui syarat perjanjian intenrasional
5. Untuk
mengetahui berlakunya perjanjian internasional
6. Untuk
mengetahui berakhirnya perjanjian internasional
7. Untuk
mengetahui pengaruh globalisasi tehradap pentingnya hukum perjanjian
internasional khususnya di Indonesia
8. Untuk
mengetahui interaksi perjanjian internasional sebagai hukum internasional
dengan hukum nasional di Indonesia
D.
Ruang Lingkup Materi
Aliran
Dualisme
Aliran dualisme bersumber pada teori bahwa daya ikat
hukum internasional bersumber pada kemauan negara, hukum internasional dan
hukum nasional merupakan dua sistem atau perangkat hukum yang terpisah.
Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh aliran
dualisme untuk menjelaskan hal ini:
1.
Sumber hukum, paham ini beranggapan
bahwa hukum nasional dan hukum internasional mempunyai sumber hukum yang
berbeda, hukum nasional bersumber pada kemauan negara, sedangkan hukum
internasional bersumber pada kemauan bersama dari negara-negara sebagai
masyarakat hukum internasional;
2.
Subjek hukum internasional, subjek hukum
nasional adalah orang baik dalam hukum perdata atau hukum publik, sedangkan
pada hukum internasional adalah negara;
3.
Struktur hukum, lembaga yang diperlukan
untuk melaksanakan hukum pada realitasnya ada mahkamah dan organ eksekutif yang
hanya terdapat dalam hukum nasional. Hal yang sama tidak terdapat dalam hukum
internasional.
4.
Kenyataan, pada dasarnya keabsahan dan
daya laku hukum nasional tidak dipengaruhi oleh kenyataan seperti hukum
nasional bertentangan dengan hukum internasional. Dengan demikian hukum
nasional tetap berlaku secara efektif walaupun bertentangan dengan hukum
internasional.
Maka sebagai akibat dari teori dualisme ini adalah
kaidah-kaidah dari perangkat hukum yang satu tidak mungkin bersumber atau
berdasar pada perangkat hukum yang lain. Dengan demikian dalam teori dualisme
tidak ada hirarki antara hukum nasional dan hukum internasional karena dua
perangkat hukum ini tidak saja berbeda dan tidak bergantung satu dengan yang
lain tetapi juga terlepas antara satu dengan yang lainnya.
Akibat lain adalah tidak mungkin adanya pertentangan
antara kedua perangkat hukum tersebut, yang mungkin adalah renvoi.[6] Karena
itu dalam menerapkan hukum internasional dalam hukum nasional memerlukan transformasi
menjadi hukum nasional.
Aliran
Monisme
Teori monisme didasarkan pada pemikiran bahwa satu
kesatuan dari seluruh hukum yang mengatur hidup manusia. Dengan demikian hukum
nasional dan hukum internasional merupakan dua bagian dalam satu kesatuan yang
lebih besar yaitu hukum yang mengatur kehidupan manusia. Hal ini berakibat dua
perangkat hukum ini mempunyai hubungan yang hirarkis. Mengenai hirarki dalam
teori monisme ini melahirkan dua pendapat yang berbeda dalam menentukan hukum
mana yang lebih utama antara hukum nasional dan hukum internasional.
Ada pihak yang menganggap hukum nasional lebih utama
dari hukum internasional. Paham ini dalam teori monisme disebut sebagai paham
monisme dengan primat hukum nasional. Paham lain beranggapan hukum internasional
lebih tinggi dari hukum nasional. Paham ini disebut dengan paham monisme dengan
primat hukum internasional. Hal ini dimungkinkan dalam teori monisme.
Monisme dengan primat hukum nasional, hukum
internasional merupakan kepanjangan tangan atau lanjutan dari hukum nasional
atau dapat dikatakan bahwa hukum internasional hanya sebagai hukum nasional
untuk urusan luar negeri.[8] Paham
ini melihat bahwa kesatuan hukum nasional dan hukum internasional pada
hakikatnya adalah hukum internasional bersumber dari hukum nasional. Alasan
yang kemukakan adalah sebagai berikut:
1.
tidak adanya suatu organisasi di atas
negara-negara yang mengatur kehidupan negara-negara;
2.
dasar hukum internasional dapat mengatur
hubungan antar negara terletak pada wewenang negara untuk mengadakan perjanjian
internasional yang berasal dari kewenangan yang diberikan oleh konstitusi
masing-masing negara.
Monisme dengan primat hukum internasional, paham ini
beranggapan bahwa hukum nasional bersumber dari hukum internasional. Menurut
paham ini hukum nasional tunduk pada hukum internasional yang pada hakikatnya
berkekuatan mengikat berdasarkan pada pendelegasian wewenang dari hukum
internasional.
Pada kenyataannya kedua teori ini dipakai oleh
negara-negara dalam menentukan keberlakuan dari hukum internasional di
negara-negara. Indonesia sendiri menganut teori dualisme dalam menerapkan hukum
internasional dalam hukum nasionalnya.
Perjanjian
Internasional sebagai Sumber Hukum Internasional
Dalam hukum internasional terdapat beberapa sumber
hukum internasional. Menurut sumber tertulis yang ada terdapat dua konvensi
yang menjadi rujukan apa saja yang menjadi sumber hukum internasional. Pada
Konvensi Den Haag XII, Pasal 7, tertanggal 18 Oktober 1907, yang mendirikan
Mahkamah Internasional Perampasan Kapal di Laut (International Prize Court)
dan dalam Piagam Mahkamah Internasional Permanen, Pasal 38 tertanggal 16
Desember 1920, yang pada saat ini tercantum dalam Pasal 38 Piagam Mahkamah
Internasional tertanggal 26 Juni 1945.
Sesuai dengan dua dokumen tertulis tersebut yang
berisi penunjukan pada sumber hukum formal, hanya dua dokumen yang penting
untuk dibahas, yaitu Piagam Mahkamah Internasional Permanen dan Piagam Mahkamah
Internasional. Ini disebabkan karena Mahkamah Internasional mengenai Perampasan
Kapal tidak pernah terbentuk, karena tidak tercapainya minimum ratifikasi.
Dengan demikian Pasal 38 Mahkamah Internasional Permanen dan Pasal 38 ayat 1
Mahkamah Internasional, dengan demikian hukum positif yang berlaku bagi
Mahkamah Internasional dalam mengadili perkara yang diajukan dihadapannya
adalah:
1.
Perjanjian Internasional;
2.
Kebiasaan Internasional;
3.
Prinsip Hukum Umum;
4.
Keputusan Pengadilan dan ajaran para
sarjana yang terkemuka dari berbagai negara sebagai sumber tambahan untuk
menetapkan hukum.
Perjanjian internasional yang dimaksud adalah
perjanjian yang dibuat atau dibentuk oleh dan diantara anggota masyarakat
internasional sebagai subjek hukum internasional dan bertujuan untuk
mengakibatkan hukum tertentu.
Dewasa ini dalam hukum internasional kecendrungan
untuk mengatur hukum internasional dalam bentuk perjanjian intenasional baik
antar negara ataupun antar negara dan organisasi internasioanal serta negara
dan subjek internasional lainnya telah berkembang dengan sangat pesat, ini
disebabkan oleh perkembangan yang pesat dari masyarakat internasional, termasuk
organisasi internasional dan negara-negara.
Perjanjian internasional yang dibuat antara negara
diatur dalam Vienna Convention
on the Law of Treaties (Konvensi
Wina) 1969. Konvensi ini berlaku (entry into force) pada 27 Januari
1980. Dalam Konvensi ini diatur mengenai bagaimana prosedur perjanjian
internasional sejak tahap negosiasi hingga diratifikasi menjadi hukum nasional.
Banyak istilah yang digunakan untuk perjanjian
internasional diantaranya adalah traktat (treaty), pakta (pact),
konvensi (convention), piagam (statute), charter, deklarasi,
protokol, arrangement, accord, modus vivendi, covenant, dan lain-lain. Semua
ini apapun namanya mempunyai arti yang tidak berbeda dengan perjanjian
internasional.
Dalam praktik beberapa negara perjanjian
internasional dapat dibedakan menjadi dua golongan. Golongan pertama adalah
perjanjian yang dibentuk melalui tiga tahap pembentukan yakni perundingan,
penandatanganan dan ratifikasi. Golongan yang kedua adalah perjanjian yang
dibentuk melalui dua tahap, yaitu perundingan dan penandatanganan.Untuk
golongan pertama biasanya dilakukan untuk perjanjian yang dianggap sangat penting
sehingga memerlukan persetujuan dari dari badan yang memiliki hak untuk
mengadakan perjanjian (treaty making power). Hal ini biasanya
berdasarkan alasan adanya pembentukan hukum baru atau menyangkut masalah
keuangan negara. Sedangkan golongan kedua lebih sederhana, perjanjian ini tidak
dianggap begitu penting dan memerlukan penyelesaian yang cepat.
Selanjutnya apa yang menjadi ukuran suatu perjanjian
mana yang termasuk golongan yang penting, sehingga memerlukan ratifikasi dari
Dewan Perwakilan Rakyat dan perjanjian mana yang tidak di Indonesia.
Proses pembentukan Perjanjian Internasional,
menempuh berbagai tahapan dalam pembentukan perjanjian internasional, sebagai
berikut:
1.
Penjajakan: merupakan tahap awal yang
dilakukan oleh kedua pihak yang berunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu
perjanjian internasional.
2.
Perundingan: merupakan tahap kedua untuk
membahas substansi dan masalah-masalah teknis yang akan disepakati dalam
perjanjian internasional.
3.
Perumusan Naskah: merupakan tahap
merumuskan rancangan suatu perjanjian internasional.
4.
Penerimaan: merupakan tahap menerima
naskah perjanjian yang telah dirumuskan dan disepakati oleh para pihak. Dalam
perundingan bilateral, kesepakatan atas naskah awal hasil perundingan dapat
disebut "Penerimaan" yang biasanya dilakukan dengan membubuhkan
inisial atau paraf pada naskah perjanjian internasional oleh ketua delegasi
masing-masing. Dalam perundingan multilateral, proses penerimaan (acceptance/approval)
biasanya merupakan tindakan pengesahan suatu negara pihak atas perubahan
perjanjian internasional.
5.
Penandatanganan : merupakan tahap akhir
dalam perundingan bilateral untuk melegalisasi suatu naskah perjanjian
internasional yang telah disepakati oleh kedua pihak. Untuk perjanjian
multilateral, penandatanganan perjanjian internasional bukan merupakan
pengikatan diri sebagai negara pihak. Keterikatan terhadap perjanjian
internasional dapat dilakukan melalui pengesahan
(ratification/accession/acceptance/approval).
Pengesahan
Pernjanjian Internasional di Indonesia
Pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional
antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara-negara lain, organisasi
internasional dan subjek hukum internasional lain adalah suatu perbuatan hukum
yang sangat penting karena mengikat negara dengan subjek hukum internasional
lainnya. Oleh sebab itu pembuatan dan pengesahan suatu perjanjian internasional
dilakukan berdasarkan undang-undang.
Sebelum adanya Undang-Undang No. 24 tahun 2000
tentang Perjanjian Internasional, kewenangan untuk membuat perjanjian
internasional seperti tertuang dalam Pasal 11 Undang Undang Dasar 1945,
menyatakan bahwa Presiden mempunyai kewenangan untuk membuat perjanjian
internasional dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 11 UUD 1945 ini
memerlukan suatu penjabaran lebih lanjut bagaimana suatu perjanjian
internasional dapat berlaku dan menjadi hukum di Indonesia. Untuk itu melalui
Surat Presiden No. 2826/HK/1960 mencoba menjabarkan lebih lanjut Pasal 11 UUD
1945 tersebut.
Pengaturan tentang perjanjian internasional selama
ini yang dijabarkan dalam bentuk Surat Presiden No. 2826/HK/1960, tertanggal 22
Agustus 1960, yang ditujukan kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, dan telah
menjadi pedoman dalam proses pengesahan perjanjian internasional selama
bertahun-tahun. Pengesahan perjanjian internasional menurut Surat Presiden ini
dapat dilakukan melalui undang-undang atau keputusan presiden, tergantung dari
materi yang diatur dalam perjanjian internasional. Tetapi dalam prateknya
pelaksanaan dari Surat Presiden ini banyak terjadi penyimpangan sehingga perlu
untuk diganti dengan Undang-Undang yang mengatur secara khusus mengenai
perjanjian internasional.
Hal ini kemudian yang menjadi alasan perlunya
perjanjian internasional diatur dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2000. Dalam Undang
Undang No. 24 Tahun 2000, adapun isi yang diatur dalam undang-undang tersebut
adalah:
·
Ketentuan Umum
·
Pembuatan Perjanjian Internasional
·
Pengesahan Perjanjian Internasional
·
Pemberlakuan Perjanjian Internasional
·
Penyimpanan Perjanjian Internasional
·
Pengakhiran Perjanjian Internasional
·
Ketentuan Peralihan
·
Ketentuan Penutup
Dalam pengesahan perjanjian internasional terbagi
dalam empat kategori, yaitu:
1.
Ratifikasi (ratification),
yaitu apabila negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian internasional turut
menandatangani naskah perjanjian internasional;
2.
Aksesi (accesion), yaitu
apabila negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian internasional tidak turut
menandatangani naskah perjanjian;
3.
Penerimaan (acceptance) atau
penyetujuan (approval) yaitu pernyataan menerima atau menyetujui dari
negara-negara pihak pada suatu perjanjian internasional atas perubahan
perjanjian internasional tersebut;
4.
Selain itu juga ada
perjanjian-perjanjian internasional yang sifatnya self-executing (langsung berlaku pada saat penandatanganan).
Dalam suatu pengesahan perjanjian internasional
penandatanganan suatu perjanjian tidak serta merta dapat diartikan sebagai
pengikatan para pihak terhadap perjanjian tersebut. Penandatanganan suatu
perjanjian internasional memerlukan pengesahan untuk dapat mengikat. Perjanjian
internasional tidak akan mengikat para pihak sebelum perjanjian tersebut
disahkan.
Seseorang yang mewakili pemerintah dengan tujuan
menerima atau menandatangani naskah suatu perjanjian atau mengikatkan negara
terhadap perjanjian internasional, memerlukan Surat Kuasa (Full Powers).
Pejabat yang tidak memerlukan surat kuasa adalah Presiden dan Menteri.
Tetapi penandatanganan suatu perjanjian
internasional yang menyangkut kerjasama teknis sebagai pelaksanaan dari
perjanjian yang sudah berlaku dan materinya berada dalam lingkup kewenangan
suatu lembaga negara atau lembaga pemerintah, baik departemen maupun
non-departemen, dilakukan tanpa memerlukan surat kuasa.
Pengesahan perjanjian internasional oleh pemerintah
dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian interansional tersebut.
Pengesahan suatu perjanjian internasional dilakukan berdasarkan ketetapan yang
disepakati oleh para pihak. Perjanjian internasional yang memerlukan pengesahan
mulai berlaku setelah terpenuhinya prosedur pengesahan yang diatur dalam
undang-undang.
Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan
undang-undang atau keputusan Presiden. Pengesahan dengan undang-undang
memerlukan persetujuan DPR. Pengesahan dengan keputusan Presiden hanya perlu
pemberitahuan ke DPR.
Pengesahan perjanjian internasional dilakukan
melalui undang-undang apabila berkenaan dengan:
·
masalah politik, perdamaian, pertahanan,
dan keamanan negara;
·
perubahan wilayah atau penetapan batas
wilayah negara;
·
kedaulatan atau hak berdaulat negara;
·
hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
·
pembentukan kaidah hukum baru;
·
pinjaman dan/atau hibah luar negeri.
Di dalam mekanisme fungsi dan wewenang, DPR dapat
meminta pertanggung jawaban atau keterangan dari pemerintah mengenai perjanjian
internasional yang telah dibuat. Apabila dipandang merugikan kepentingan
nasional, perjanjian internasional tersebut dapat dibatalkan atas permintaan
DPR, sesuai dengan ketentuan yang ada dalam undang-undang No. 24 tahun 2000.
Indonesia sebagai negara yang menganut paham
dualisme, hal ini terlihat dalam Pasal 9 ayat 2 UU No. 24 tahun 2000,
dinyatakan bahwa:
”Pengesahan
perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat(1) dilakukan dengan
undang-undang atau keputusan presiden.”
Dengan demikian pemberlakuan perjanjian
internasional ke dalam hukum nasional indonesia tidak serta merta. Hal ini juga
memperlihatkan bahwa Indonesia memandang hukum nasional dan hukum internasional
sebagai dua sistem hukum yang berbeda dan terpisah satu dengan yang lainnya.
Perjanjian internasional harus ditransformasikan
menjadi hukum nasional dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Perjanjian
internasional sesuai dengan UU No. 24 tahun 2000, diratifikasi melalui
undang-undang dan keputusan presiden. Undang-undang ratifikasi tersebut tidak
serta merta menjadi perjanjian internasional menjadi hukum nasional Indonesia,
undang-undang ratifikasi hanya menjadikan Indonesia sebagai negara terikat
terhadap perjanjian internasional tersebut. Untuk perjanjian internasional
tersebut berlaku perlu dibuat undang-undang yang lebih spesifik mengenai
perjanjanjian internasional yang diratifikasi, contoh Indonesia meratifikasi
International Covenant on
Civil and Political Rights melalui
undang-undang, maka selanjutnya Indonesia harus membuat undang-undang yang
menjamin hak-hak yang ada di covenant tersebut dalam undang-undang yang lebih
spesifik.
Perjanjian internasional yang tidak mensyaratkan
pengesahan dalam pemberlakuannya, biasanya memuat materi yang bersifat teknis
atau suatu pelaksana teknis terhadap perjanjian induk. Perjanjian internasional
seperti ini dapat lansung berlaku setelah penandatanganan atau pertukaran
dokumen perjanjian/nota diplomatik, atau melalui cara lain yang disepakati
dalam perjanjian oleh para pihak.
Perjanjian yang termasuk dalam kategori ini
diantaranya adalah perjanjian yang materinya mengatur secara teknis kerjasama
bidang pendidikan, sosial, budaya, pariwisata, penerangan kesehatan, pertanian,
kehutanan dan kerjasam antar propinsi atau kota. Perjanjian internasional mulai
berlaku dan mengikat para pihak setelah memenuhi ketentuan yang ditetapkan
dalam perjanjian tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Perjanjian Internasional
Hukum Perjanjian Internasional telah berkembang
pesat dan telah terkodifikasi ke dalam berbagai konvensi internasional seperti
Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional, Konvensi Wina 1986 tentang
Perjanjian Internasional dan Organisasi Internasional, Konvensi Wina 1978
tentang Suksesi Negara terkait Perjanjian Internasional. Dalam hukum
internasional dewasa ini ada kecenderungan mengatur hukum perjanjian antara
organisasi internasional dengan organisasi internasional atau antara organisasi
internasional dengan subjek hukum internasional lain secara tersendiri.
Menurut
Mochtar Kusumaatmaja, perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan
oleh masyarakat bangsa – bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat –
akibat hukum tertentu. Dalam Pasal 2 Konvensi Wina
1969, perjanjian internasional didefinisikan sebagai suatu persetujuan yang
dibuat antara negara dalam bentuk tertulis, dan diatur oleh Hukum
Internasional, apakah dalam instrumen tunggal atau lebih yang berkaitan dan
apapun nama yang diberikan padanya. Definisi perjanjian internasional kemudian
di kembangkan oleh Pasal 1 ayat (3) Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 37
Tahun 1999 Tentang Hubungan Luar Negeri dimana dijelaskan bahwa perjanjian
internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan sebutan apapun, yang diatur
oleh Hukum Internasional dan dibuat secara tertulis oleh pemerintah Republik
Indonesia dengan satu atau lebih negara, organisasi atau subjek hukum
internasional lainnya, serta menimbulkan hak dan kewajiban pada pemerintah
Republik Indonesia yang bersifat hukum publik.
Di dalam
Pasal 1 ayat (1) Undang – undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional dikatakan bahwa perjanjian internasional adalah perjanjian dalam
bentuk dan nama tertentu yang diatur dalam Hukum Internasional yang dibuat
secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.
Bentuk dan
nama perjanjian internasional dalam praktiknya cukup beragam, antara lain:
1.
Traktat
(Treaty)
Menurut
pengertian umum, treaty mencakup
segala macam bentuk perjanjian internasional. Sedangkan menurut pengertian
khusus, Treaty merupakan perjanjian
yang paling penting dan sangat formal dalam urusan perjanjian. Dalam bahasa
istilah, Treaty disebut sebagai
perjanjian internasional.
2.
Konvensi
(Convention)
Pasal
38 ayat (1) huruf a Statuta Mahkamah Internasional menyebut, Konvensi
Internasional sebagai salah satu sumber Hukum Internasional. Istilah Konvensi
juga mencakup Perjanjian Internasional secara umum dan juga digunakan untuk
perjanjian – perjanjian multilateral yang beranggotakan banyak pihak.
3.
Deklarasi
(Declaration)
Deklarasi
merupakan perjanjian yang berisi ketentuan – ketentuan umum dimana para pihak
berjanji untuk melakukan kebijaksanaan – kebijaksanaan tertentu di masa yang
akan datang. Deklarasi yang dibuat tersebut biasanya hanya berisi prinsip
pernyataan – pernyataan umum.
Suatu hal
yang tidak dapat di pungkiri ialah saling membutuhkannya antara negara yang
satu dengan negara lainnya yang di berbagai lapangan kehidupan, tentunya hal
tersebut mengakibatkan hubungan yang terus – menerus bahkan tetap antar bangsa
– bangsa. Sehingga tentunya diperlukan suatu aturan untuk memelihara dan
mengatur hubungan yang demikian tersebut.
Seiring dengan pesatnya era
globalisasi, perkembangan hukum internasional pun telah mengalami
perubahan-perubahan mendasar, antara lain munculnya subjek-subjek baru
non-negara yang pada awalnya negara adalah satu – satunya
subjek yang diakui dan kedudukannya tertinggi dalam dunia internasional. Namun,
globalisasi membawa perubahan hal tersebut dalam studi hubungan internasional
dan mengalami perubahan yang signifikan karenanya. Perubahan akibat
terglobalisasinya studi hubungan internasional, maka lahirlah berbagai aktor –
aktor baru selain negara seperti organisasi antarpemerintah (IGO), organisasi
nonpemerintah (NGO), serta korporasi multinasional (MNC). Subjek – subjek baru
ini kemudian diakui eksistensinya dalam kancah internasional dan memiliki
peranannya masing – masing dalam hubungan internasional. Selain itu dengan meningkatnya interaksi yang intensif antar
subjek-subjek baru tersebut. Disebabkan oleh perubahan mendasar tersebut,
semakin berpeluang lahirnya perkara-perkara hukum yang bersifat lintas negara.
Sehingga hukum perjanjian internasional telah mengikat di semua sektor
kehidupan manusia.
B. Tahap – Tahap
Pembuatan Perjanjian Internasional
Menurut Undang-Undang nomor 24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional, tahap-tahap Perjanjian Internasional (proses
pembuatan perjanjian Internasional) adalah sebagai berikut :
· Tahap
Penjajakan:
merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang berunding mengenai
kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional.
· Tahap
Perundingan:
merupakan tahap kedua untuk membahas substansi dan masalah2 teknis yang akan
disepakati dalam perjanjian internasional.
· Tahap
Perumusan Naskah:
merupakan tahap merumuskan rancangan suatu perjanjian internasional.
· Tahap
Penerimaan:
merupakan tahap menerima naskah perjanjian yang telah dirumuskan dan disepakati
oleh para pihak. Dalam perundingan bilateral, kesepakatan atas naskah awal
hasil perundingan dapat disebut “Penerimaan” yang biasanya dilakukan dengan
membubuhkan inisial atau paraf pada naskah perjanjian internasional oleh ketua
delegasi masing-masing. Dalam perundingan multilateral, proses penerimaan (acceptance/
approval) biasanya merupakan tindakan pengesahan suatu negara pihak
atas perubahan perjanjian internasional.
· Tahap
Penandatanganan: merupakan
tahap akhir da1am perundingan bilateral untuk melegalisasi suatu naskah
perjanjian internasional yang telah disepakati oleh kedua pihak. Untuk
perjanjian multilateral, penandantanganan perjanjian internasional bukan
merupakan pengikatan diri sebagai negara pihak. Keterikatan terhadap perjanjian
Internasional (Menurut Pasal 6 Ayat 1)
· Tahap
Pengesahan: Pengesahan
suatu perjanjian internasional dilakukan berdasarkan ketetapan yang disepakati
oleh para pihak. Perjanjian internasional yang memerlukan pengesahan akan mulai
berlaku setelah terpenuhinya prosedur pengesahan sebagaimana diatur dalam
undang-undang ini. Setiap undang-undang atau keputusan presiden tentang pengesahan
perjanjian internasional ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Pengesahan dengan undang-undang memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Pengesahan dengan keputusan Presiden selanjutnya diberitahukan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat. Pengesahan perjanjian internasional melalui undang-undang
dilakukan berdasarkan materi perjanjian dan bukan berdasarkan bentuk dan nama(nomenclature) perjanjian.
Klasifikasi menurut materi perjanjian dimaksudkan agar tercipta kepastian hukum
dan keseragaman atas bentuk pengesahan perjanjian internasional dengan
undang-undang. Mekanisme dan prosedur pinjaman dan/atau hibah luar negeri
beserta persetujuannya oleh Dewan Perwakilan Rakyat akan diatur dengan
undang-undang tersendiri. (Menurut Pasal 9).
C.
Proses Terjadinya Perjanjian Internasional
Komponen-komponen yang harus terdapat dalam Hubungan
Internasional adalah :
1.
International Politics (Politik Internasional)
2.
The Study of Forchight Affair (studi tentang peristiwa
internasional)
3.
International Law (HUkum Internasional)
4.
International Organitation of Administrattion(organisasi adminnistrasi
Internasional)
Proses
pembentukan Perjanjian Internasional, menempuh berbagai tahapan dalam
pembentukan perjanjian internasional, sebagai berikut:
1.
Penjajakan:
merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang berunding mengenai
kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional.
2.
Perundingan:
merupakan tahap kedua untuk membahas substansi dan masalah-masalah teknis yang
akan disepakati dalam perjanjian internasional.
3.
Perumusan
Naskah: merupakan tahap merumuskan rancangan suatu perjanjian internasional.
4.
Penerimaan:
merupakan tahap menerima naskah perjanjian yang telah dirumuskan dan disepakati
oleh para pihak. Dalam perundingan bilateral, kesepakatan atas naskah awal
hasil perundingan dapat disebut “Penerimaan” yang biasanya dilakukan dengan
membubuhkan inisial atau paraf pada naskah perjanjian internasional oleh ketua
delegasi masing-masing. Dalam perundingan multilateral, proses penerimaan (acceptance/approval)
biasanya merupakan tindakan pengesahan suatu negara pihak atas perubahan
perjanjian internasional.
5.
Penandatanganan
: merupakan tahap akhir dalam perundingan bilateral untuk melegalisasi suatu
naskah perjanjian internasional yang telah disepakati oleh kedua pihak. Untuk
perjanjian multilateral, penandatanganan perjanjian internasional bukan
6.
merupakan
pengikatan diri sebagai negara pihak. Keterikatan terhadap perjanjian
internasional dapat dilakukan melalui pengesahan (ratification/accession/acceptance/approval).
D. Persyarat
Perjanjian Internasional
Unsur-unsur
penting dalam persyaratan perjanjian internasional adalah :
1.
Harus
dinyatakan secara resmi
2.
Bermaksud
untuk membatasi, meniadakan atau mengubah akibat hukum dari ketentuan-ketentuan
yang terdapat dalam perjanjian tersebut.
Berkaitan dengan persyaratan perjanjian internasional
tersebut, terdapat 2 teori yang berkembang:
1.
Unanimity
Principle (teori
kebulatan suara), yaitu persyaratan yang diajukan hanya berlaku bagi negara
yang mengajukan apabila diterima oleh negara peserta lainnya.
2.
Teori
Pan Amerika, yaitu bahwa perjanjian itu mengikat negara yang mengajukan
persyaratan dengan negara yang menerima.
E. Berlakunya
perjanjian internasional
1.
sejak
tanggal yang ditentukan dalam piagam perjanjian, atau menurut yang disetujui
oleh peserta perjanjian
2.
jika
tidak ditentukan maka perjanjian ulai berlaku sejak adanya pernyataan
persetujuan
3.
jika
persetuuan suatu negara untuk diikat oleh perjanjian timbul setelah perjanjian
itu berlaku, maka perjanjian mulai berlaku bagi negara itu pada tanggal
tersebut, kecuali jika ditentukan lain.
F. Pelaksanaan
Perjanjian Internasional
Ketaatan terhadap perjanjian internasional dilakukan
berdasarkan prinsip berikut :
1. Pact sun Servanda, yaitu isi perjanjian
merupakan hukum yang mengikat bagi peserta perjanjian, sehingga perjanjian
tersebut harus ditaati.
2. Kesadaran Hukum Nasional, yaitu isi
perjanjian internasional dapat ditaati opelh suatu negara jika tidak
bertentangan dengan hukum nasional atau ideologi negara bersangkutan.
G.
Kapan Berakhirnya Perjanjian Internasional
Sebab-sebab
berakhirnya suatu perjanjian internasional
Penyebab
berakhirnya perjanjian internasional adalah sebagai berikut :
·
Terdapat kesepakatan para pihak melalui prosedur yang
ditetapkan
·
Terdapat perubahan mendasar yang mempengaruhi
pelaksanaan perjanjian
·
Salah satu pihak tidak melaksanakan atau melanggar
ketentuan dalam perjanjian
·
Pengakhiran perjanjian sesuai dengan ketentuan dalam
perjanjian tersebut
·
Masa berlakunya perjanjian tersebut telah habis
·
Adanya persetujuan dari para pihak untuk mengakhiri
perjanjian tersebut
·
Salah satu pihak perjanjian menghilang atau punahnya
objek perjanjian tersebut
·
Adanya perjanjian baru antara para pihak yang kemudian
meniadakan perjanjianyang terdahulu
·
Syarat-syarat tentang pengakhiran perjanjian sesuai
dengan ketentuan perjanjiantersebut telah dipenuh
·
Perjanjian secara sepihak diakhiri oleh salah satu pihak
dan pengakhiran itu diterimaoleh pihak
lain
H.
Pengaruh Globalisasi
terhadap Pentingnya Hukum Perjanjian Internasional khususnya pada Indonesia
Globalisasi merupakan sebuah masa dimana terjadi
perubahan di segala bidang dan perubahan – perubahan yang terjadi tersebut
memberikan dampak positif maupun negatif di setiap bidang. Kata globalisasi
pertama kali digunakan oleh Theodore Levitte pada tahun 1985. Namun, fenomena
pertama kali yang menandai adanya globalisasi tidak bisa dinyatakan dengan satu
fenomena atau kejadian, karena hal tersebut tergantung dari sudut pandang individu.
Pada zaman sekarang ini kata globalisasi bukanlah kata yang asing untuk
didengar. Era globalisasi dewasa ini sudah menjadi kenyataan yang harus
dihadapi setiap negara.[2]
Di era
globalisasi seperti saat ini komunikasi lintas negara bukan merupakan hal yang
sulit untuk dilakukan. Akses untuk melakukan hubungan lintas negara tidak dapat
diragukan lagi kemudahannya dengan didukung teknologi yang terus berkembang.
Hubungan yang dilakukan tidak hanya sebatas antar perseorangan namun juga
lebih kompleks pada hubungan antara subjek-subjek hukum internasional, salah
satunya negara. Negara melakukan hubungan dengan negara lain didasari keinginan
untuk melengkapi kebutuhannya karena tidak semua negara dapat memenuhi
kebutuhannya sendiri. Hubungan tersebut dapat diwujudkan melalui perjanjian
internasional.
Setiap
negara pun tidak dapat menghindari adanya saling mempengaruhi kepentingan. Jika
saat dulu perebutan pengaruh menggunakan jalan kekerasan (perang), maka di era
globalisasi ini forum yang dijadikan arena “peperangan” tersebut adalah
perjanjian internasional.
Perjanjian
internasional menjadi salah satu tolok ukur keaktifan negara dalam berhubungan
dengan negara lain. Untuk itu perlu dimengerti seberapa pentingnya perjanjian
internasional bagi suatu negara. Perjanjian internasional penting bagi suatu
negara dalam mendorong kemajuannya, karena melalui perjanjian internasional
negara tidak hanya mendapat keuntungan dari perjanjian yang dibuat tetapi juga
akses internasional.[3]
Perwujudan atau realisasi hubungan – hubungan internasional
dalam bentuk perjanjian internasional sudah sejak lama dilakukan oleh negara –
negara di dunia. Faktor – faktor lain yang mendorong perkembangan dari
perjanjian internasional seperti :
a.
Semakin
besar dan semakin meningkatnya saling ketergantungan antara umat manusia di
dunia, yang mendorong diadakannya kerjasama internasional yang dirumuskan dalam
bentuk perjanjian internasional.
b.
Perbedaan
falsafah dan pandangan hidup, kebudayaan, ras, agama atau kepercayaan tidak
lagi merupakan faktor penghambat dalam mengadakan hubungan dan kerjasama hingga
kancah internasional
c.
Kemajuan
iptek yang membawa dampak positif dan negatif mendorong perlunya pengaturan –
pengaturan tegas dan pasti, yang dirumuskan dalam bentuk perjanjian
internasional
d.
Substansi
yang diatur dalam perjanjian internasional tidak hanya masalah atau objek yang
di ada di bumi saja, melainkan juga mencakup objek – objek yang ada di luar
bumi seperti tentang ruang angkasa, tata surya dan lainnya.
e.
Pengaturan
suatu masalah dalam bentuk perjanjian internasional lebih menjamin kepastian
hukum dan kejelasan, sehinggan memperkecil kemungkinan timbulnya perselisihan
atau persengketaan antar para pihak.
Indonesia
tentu saja tidak dapat menghindar dari arus globalisasi. Perjanjian –
perjanjian internasional yang telah diikuti pada akhirnya ikut mempengaruhi
hukum nasional Indonesia, seperti TRIPs, WTO maupun UDHR (United Declaration of Human Rights).
Globalisasi
yang mewarnai kehidupan internasional saat ini telah menciptakan interaksi yang
intensif antara Indonesia dengan masyarakat internasional bukan hanya antar
pemerintah tetapi juga antar individu. Interaksi ini akan mengakibatkan
meningkatnya persentuhan-persentuhan hukum antara Indonesia dengan negara-negara
lainnya dan bahkan dalam tingkat tertentu akan menimbulkan tumpang tindih
antara hukum internasional termasuk perjanjian internasional dengan hukum
nasional. Dengan fenomena ini, maka cepat atau lambat, publik hukum Indonesia
dari seluruh lapisan harus bersentuhan dengan perjanjian internasional dan akan
semakin menepis anggapan bahwa hukum perjanjian internasional hanya milik
diplomat saja.
Peradilan
di Indonesia juga telah dihadapkan oleh eksistensi hukum positif yang bersumber
dari hukum internasional khususnya perjanjian internasional, semisal beberapa
yurisprudensi peradilan Indonesia telah menggunakan dalil – dalil hukum
perjanjian internasional.[4]
Salah satu dari perjanjian internasional yang berhubungan dengan peradilan di
Indonesia saat ini adalah perjanjian ekstradisi. Perjanjian tersebut ramai
dibicarakan pada kasus Nazaruddin yang melarikan diri ke Columbia dan ditangkap
disana karena terkait dengan suatu kasus dugaan korupsi. Dengan perjanjian
tersebut, Pemerintah Indonesia meminta
Pemerintah Columbia untuk mengangkap dan memulangkan Nazaruddin ke Indonesia
untuk keperluan proses penyidikan. Ekstradisi sendiri menurut I Wayan
Parthiana, S.H. adalah penyerahan yang dilakukan secara formal baik berdasarkan
perjanjian ekstradisi yang diadakan sebelumnya atau berdasarkan prinsip timbal
balik, atas seseorang yang tertuduh (terdakwa) atau atas seorang yang telah
dijatuhi hukuman atas kejahatan yang dilakukannya (terpidana) oleh negara
tempatnya melarikan diri atau berada atau bersembunyi kepada negara yang
memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau menghukumnya atas permintaan dari
negara tersebut, dengan tujuan untuk mengadili atau melaksanakan hukumannya.[5]
Hal ini pun menjadikan perjanjian internasional sebagai sumber hukum yang
hidup.
Globalisasi dibidang perdagangan dan investasi serta
lahirnya pasar bebas telah melahirkan pula pola hubungan yang lintas batas
teritorial negara, yang mengharuskan adanya pemahaman terhadap hukum perjanjian
internasional. Perjanjian-perjanjian dewasa ini khususnya dibidang ekonomi,
investasi, dan perdagangan telah banyak menyentuh bukan hanya kepentingan
negara sebagai pihak perjanjian melainkan juga melahirkan hak dan kewajiban
terhadap individu-individu di negara pihak.[6]
Salah satu contoh konkrit adalah peran Indonesia dalam APEC (Asia Pacific Economic Cooperation).
Menurut Abdul Hakim, M.S., APEC bernilai strategis bagi Indonesia lantaran
besarnya potensi yang ada. Merujuk data yang dilansir oleh kesekretariatan
APEC, negara – negara yang tergabung dalam forum internasional ini merupakan
representasi dari 47 persen transaksi perdagangan dunia. Selain itu, jumlah
penduduk di 21 negara anggota APEC juga merupakan penyumbang 40 persen dari
populasi penduduk dunia. Tentu dengan potensi sebesar itu, Indonesia sangat berkepentingan
untuk menjalin kerjasama dengan negara – negara anggota guna terus menjaga
baiknya trend ekonomi Indonesia saat ini.
Lalu,
dengan meningkatnya jumlah perjanjian internasional lain di bidang HAM dan
lingkungan hidup yang diratifikasi oleh Indonesia juga memberikan dampak
tersendiri bagi perkembangan hukum perjanjian internasional di Indonesia.
Kecenderungan ini semakin mendorong keperluan bagi penegak hukum di Indonesia
untuk semakin mendalami hukum perjanjian internasional karena pemberlakuannya
yang tidak lagi mengenal batas dan kedaulatan negara.
I.
Interaksi Perjanjian Internasional sebagai Hukum
Internasional dengan Hukum Nasional di Indonesia
Globalisasi
hubungan internasional dewasa ini telah semakin meningkatkan persentuhan dan
interaksi antara Hukum Internasional khususnya perjanjian internasional dengan
Hukum Nasional di Indonesia. Proses-proses ekonomi yang semakin
global disertai berbagai bentuk aktivitas transnasionalnya akan terus
berlangsung dan tidak mungkin dibendung. Suasana perubahan ke arah kehidupan
masyarakat antar bangsa-bangsa yang semakin menyatu, tentu saja mempengaruhi
model pranata hukum yang harus dipersiapkan. Jika penyiapan pranata hukum yang
dilakukan negara nasional seperti Indonesia semata-mata menggunakan model
kodifikasi sebagaimana berlangsung selama ini, dikhawatirkan model semacam itu
akan sulit mengadaptasikan diri dengan berbagai proses perubahan yang
berlangsung sangat cepat.[7]
Aktivitas internasional akan mempengaruhi arah dan
perkembangan hukum nasional bangsa-bangsa, termasuk Indonesia. Pengaruh itu
antara lain muncul dalam wujudnya kenyataan bahwa bidang hukum internasional
semakin mengalami proses nasionalisasi, dimana arena internasional bagi
praktik-praktik hukum semakin terbuka luas, dan semakin terasa betapa
kekuatan-kekuatan dan logika-logika yang bekerja dalam bidang ekonomi, negara,
dan tatanan internasional, telah berdampak pada bidang hukum.
Perjanjian
internasional yang dibuat oleh Indonesia, telah meningkat jumlahnya dewasa ini.
Pada hakikatnya bersifat lintas sektor dan menjamah beberapa disiplin ilmu
hukum di Indonesia seperti Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara, dan
bahkan Hukum Perdata. Dengan demikian, pada hakikatnya semua pemangku kebijakan
di pemerintahan, legislatif, dan yudikatif memiliki keterlibatan kuat terhadap
perjanjian internasional.
Proses nasionalisasi
terhadap kaidah – kaidah hukum internasional menjadi hukum nasional berupa
akseptasi atas berbagai kumpulan norma yang diwujudkan melalui kesepakatan
negara-negara, baik yang bersifat bilateral maupun multilateral. Di dalam hukum
perjanjian internasional akseptasi semacam itu dikenal dengan istilah
pengesahan atau ratifikasi. Ratifikasi di sini merupakan tindakan suatu negara
yang dipertegas oleh pemberian persetujuannya untuk diikat dengan suatu
perjanjian internasional. Oleh karena itu, nasionalisasi norma-norma hukum
internasional dalam suatu negara pada dasarnya merupakan suatu proses masuk dan
diterimanya norma internasional ke dalam pranata hukum nasional suatu negara.
Selanjutnya norma-norma tersebut menjadi bagian dari hukum positip negara
tersebut. Hal ini sesuai dengan teori transformasi yang dianut oleh Indonesia,
bahwa norma – norma hukum internasional dalam hal ini perjanjian internasional,
baru bisa dijadikan sebagai suatu sumber hukum nasional jika telah diratifikasi
menggunakan suatu peraturan perundang – undangan Indonesia.[8]
Pada sisi lain, apa yang di atas disebut sebagai
arena internasional bagi praktik hukum juga telah tercipta. Sebagai contoh,
mekanisme penyelesaian sengketa niaga yang melibatkan pihak-pihak
multinasional, hampir dapat dipastikan telah menggeserkan peran dan kompetensi
pengadilan negeri. Ada gejala ke arah pengesampingan cara-cara konvensional
untuk menyelesaikan konflik melalui institusi hukum negara yang bernama
pengadilan negeri. Terlebih lagi jika sengketa niaga itu melibatkan pihak-pihak
multinasional.
Dan juga, untuk menghadapi kawasan Asia Pasifik
sebagai wilayah perdagangan bebas mendatang, mau tidak mau Indonesia harus
meninjau kembali perangkat norma hukum yang telah tersedia dan segera membenahi
model pembentukan pranata hukum secara sistematis dan berencana. Hal itu
menjadi mutlak perlu untuk dilakukan, mengingat di masa-masa mendatang
timbulnya kasus-kasus sengketa niaga sebagai akibat berlangsungnya transaksi
niaga multinasional semakin tidak mungkin dihindarkan dan karena kasus-kasus
yang muncul maupun putusan-putusan yang dihasilkan tidak lagi hanya bernuansa
lokal nasional, tapi sudah berkembang ke kancah internasional.[9]
Berikut ini merupakan
contoh – contoh perjanjian internasional berupa konvensi yang dinasionalisasikan
norma – normanya ke dalam hukum nasional oleh Indonesia. Dikaji berdasarkan pihak-pihak yang
mengadakannya, konvensi ini digolongkan sebagai perjanjian multilateral, yakni
perjanjian internasional yang dilakukan antara banyak pihak. Adapun konvensi
itu adalah:
-
Pengesahan
Konvensi Telekomunikasi Internasional (International
Telecommunication Convention) Nairobi
1982, dengan instrumen nasional Undang – Undang Nomor 11 tahun 1985
-
Pengesahan
Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hukum Laut (United Nations Convention the Law of the
Sea) New York 1982, dengan
instrumen nasional Undang – Undang Nomor 17 tahun 1985.
Contoh interaksi antara perjanjian internasional dengan hukum
nasional Indonesia yang lain yaitu ratifikasi terhadap WTO Agreement yang kemudian disusul dengan
pengundangan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 merupakan pintu gerbang bagi
perkembangan globalisasi ekonomi.
Ratifikasi WTO Agreement menimbulkan sebuah konsekuensi
yuridis bahwa pemerintah Indonesia harus melakukan harmonisasi ketentuan hukum
nasionalnya khususnya di bidang ekonomi agar sesuai dengan standar-standar WTO Agreement.
Disadari
maupun tidak, kondisi objektif yang dialami Indonesia dari hari ke hari
merupakan bukti bahwa sebagai anggota masyarakat bangsa-bangsa Indonesia
semakin terkooptasi ke dalam kancah dan percaturan ekonomi global. Hingga
muncul fenomena institusi hukum negaranya pun sungguh sangat kena implikasinya
dalam konteks pencaturan internasional
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Eksistensi perjanjian internasional
semakin meningkat dalam era globalisasi dikarenakan perkembangan
kehidupan masyarakat global yang semakin tidak mengenal batas – batas negara,
maka kesepakatan – kesepakatan antar negara untuk menyelesaikan berbagai persoalan
yang dituangkan dalam bentuk perjanjian – perjanjian internasional menjadi
salah satu sumber hukum yang penting. Dikarenakan pula, semakin banyak masalah
– masalah transnasional yang penyelesaiannya hanya dapat dijangkau dengan
instrumen perjanjian internasional. Indonesia pun tidak bisa menghindar dari
arus globalisasi tersebut, apalagi jika meninjau semakin banyaknya perjanjian –
perjanjian internasional yang diikuti oleh Indonesia, baik perjanjian bilateral
maupun multilateral.
2. Aktivitas
internasional telah mempengaruhi arah dan perkembangan hukum nasional
bangsa-bangsa, termasuk Indonesia. Pengaruh itu antara lain muncul dalam
wujudnya kenyataan bahwa bidang hukum internasional semakin mengalami proses
nasionalisasi, sebaliknya arena internasional bagi praktik-praktik hukum
semakin terbuka luas, dan semakin terasa betapa kekuatan-kekuatan dan
logika-logika yang bekerja dalam bidang ekonomi, negara, dan tatanan
internasional, telah berdampak pada bidang hukum. Oleh karena itu, interaksi
antara hukum internasional, dalam hal ini perjanjian internasional semakin kuat
eksistensinya terhadap hukum nasional Indonesia. Dibuktikan dengan banyaknya
konvensi – konvensi yang telah diratifikasi oleh instrumen hukum nasional
Indonesia.
B. Saran
Perkembangan
hukum perjanjian internasional dalam era globalisasi tentu banyak mempengaruhi
pembentukan – pembentukan hukum nasional negara – negara di dunia, tak
terkecuali Indonesia. Hal ini pun akan menyebabkan tumpang tindih antara hukum
internasional dengan hukum nasional sendiri. Indonesia harus tetap menyaring
norma – norma internasional yang sesuai dengan dasaar dari semua dasar hukum di
Indonesia yaitu Pancasila. Walaupun globalisasi sangat membawa dampak bagi
kehidupan internasional, baik itu antar negara maupun individu, sebaiknya norma
– norma internasional itu tidak melunturkan identitas bangsa Indonesia.
Keselarasan antara norma – norma internasional dengan norma – norma yang telah
hidup dalam bangsa Indonesia sejak lama itu harus dikondisikan dengan baik. Karena
identitas suatu bangsa adalah salah satu hal penting yang mendukung negara
tersebut tetap eksis dalam blantika kehidupan yang sudah hampir tidak mengenal
batas – batas teritorial negara ini
DAFTAR PUSTAKA
http://ahmadbugis.blogspot.com/2013/09/makalah-perjanjian-internasional.html
No comments :
Post a Comment