MAKALAH
PERS
DI
S
U
S
U
N
OLEH
SMA NEGERI 01
NANGA PINOH
TAHUN AJARAN
2014/2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang
Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik dan Hinayah-Nya sehingga
saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang
sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu
acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca.
Harapan saya semoga makalah ini
membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca tentang “Pers”,
sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga
kedepannya dapat lebih baik.
Makalah ini saya akui masih banyak
kekurangan karena pengalaman yang saya miliki sangat kurang. Oleh kerena itu
saya harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang
bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
Nanga Pinoh, September
2014
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR......................................................................................................................... i
DAFTAR
ISI........................................................................................................................................ ii
BAB
I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang........................................................................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah....................................................................................................................... 1
C.
Tujuan Penulisan......................................................................................................................... 1
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Pers........................................................................................................................... 2
B.
Fungsi dan Peran Pers Dalam Masyarakat Demokrasi............................................................... 3
C.
Perkembangan Pers di Indonesia................................................................................................ 3
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan................................................................................................................................. 7
B.
Saran........................................................................................................................................... 7
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................................... 8
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Media memiliki peranan
penting sebagai katalisator dalam masyarakat (Lasswell, 1934), bahkan teoretisi
Marxis melihatmedia massa sebagai piranti yang sangat kuat (a powerfull tool).
Namun seiring dengan semakin beragamnya media dan semakin berkembangnya
masyarakat, kebenaran teori-teori tersebut menjadi diragukan.
Pers No. 40 Tahun 1999
dan UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002 kemudian ditetapkan untuk menjamin kebebasan
dan independensi media massa. Media massa yang terjamin kebebasan dan
independensinya pada gilirannya menguntungkan semuanya, baik negara maupun
masyarakat. Walaupun seringkali dianggap merugikan kepentingan-kepentingan
politik tertentu.
Media massa dipandang
punya kedudukan strategis dalam masyarakat. Secara konseptual, keberadaan media
massa dan masyarakat perlu dilihat secara bertimbal balik. Untuk itu ada 2
pandangan yaitu apakah media massa membentuk (moulder) atau mempengaruhi
masyarakat, ataukah sebaliknya sebagai cermin (mirror) atau dipengaruhi oleh
realitas masyarakat.
Albert Camus, novelis
terkenal dari Perancis pernah mengatakan bahwa pers bebas dapat baik dan dapat
buruk, namun tanpa pers bebas, yang ada hanya celaka. Oleh karena salah satu
fungsinya ialah melakukan kontrol sosial, pers melakukan kritik dan koreksi
terhadap segala sesuatu yang menrutnya tidak beres dalam segala persoalan.
Karena itu, ada anggapan bahwa pers lebih suka memberitakan hah-hal yang salah
daripada yang benar. Pandangan seperti itu sesungguhnya melihat peran dan
fungsi pers tidak secara komprehensif, melainkan parsial dan ketinggalan
jaman.Karena kenyataannya, pers sekarang juga memberitakan keberhasilan
seseorang, lembaga pemerintahan atau perusahaan yang meraih kesuksesan serta
perjuangan mereka untuk tetap hidup di tengah berbagai kesulitan.
Berdasarkan uraian diataslah penulis menyusun karya tulis ini agar pembaca
lebih memahami arti dan peranan pers itu.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian, fungsi dan peran pers dalam masyarakat demokrasi
2.
Bagaimana perkembangan pers di Indonesia ?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui pengertian, fungsi dan peran pers dalam masyarakat
demokrasi
2.
Untuk mengetahui perkembangan pers di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Pers
Istilah “pers” berasal dari bahasa Belanda, yang dalam bahasa
Inggris berarti press. Secara harfiah pers berarti cetak dan secara maknawiah
berarti penyiaran secara tercetak atau publikasi secara dicetak (printed
publication).
Dalam perkembangannya pers mempunyai dua pengertian, yakni pers dalam
pengertian luas dan pers dalam pengertian sempit. Dalam pengertian luas, pers
mencakup semua media komunikasi massa, seperti radio, televisi, dan film yang
berfungsi memancarkan/ menyebarkan informasi, berita, gagasan, pikiran, atau
perasaan seseorang atau sekelompok orang kepada orang lain. Maka dikenal adanya
istilah jurnalistik radio, jurnalistik televisi, jurnalistik pers. Dalam
pengertian sempit, pers hanya digolongkan produk-produk penerbitan yang
melewati proses percetakan, seperti surat kabar harian, majalah mingguan,
majalah tengah bulanan dan sebagainya yang dikenal sebagai media cetak.
B.
Fungsi dan Peran Pers Dalam
Masyarakat Demokrasi
Fungsi dan peran pers dalam masyarakat demokrasi
sangat besar. Pers dan media massa telah banyak memberikan jasanya terhadap
masyarakat Indonesia, terlebih pasca reformasi yang menjamin kebabasan pers.
Masyarakat dengan mudah mendapat kabar berita baik cetak maupun eloktronik. Hal
tersebut tentu akan membantu masyarakat dalam beberapa aspek yang mencakup lini
kehidupan.
Prinsip sistem demokrasi dari rakyat (of the
people), oleh rakyat (by the people) dan untuk
rakyat (for people) yang kita eluh-eluhkan meniscayakan adanya
pranata melalui pers. Sehingga pers juga ikut andil dalam proses demokrasi
Indonesia. Sebagaimana disebutkan dalam undang-undang pers tahun 1999, bahwa
fungsi pers adalah sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol
sosial serta sebagai lembaga ekonomi. Fungsi pers sebagai kontrol sosial “social
control”, mengandaikan bahwa pers juga turut mengawal jalannya pemerintahan
secara demokratis. Hal ini juga termaktub dalam pasal yang menerangkan peranan
pers, yakni “menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya
supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati kebhinekaan”.
Mengacu pada landasan ideologi negara Indonesia,
Pancasila. Maka, salah satu pokok ajaran penerapan ideologi Pancasila dalam
kehidupan pers adalah, pers harus menjadi “mitra” pemerintah, yakni dengan
memberi “kritik” terhadap pemerintah. Sayangnya berdasarkan pengalaman empiris,
hal itu tidak terbukti keseluruhan. Keadaan tersebut dapat dianalisa,
bahwa terjadi “kontrak etis” yang erat antara pers dan pemerintah. Sehingga,
diperlukannya media yang dengan benar berani membeberkan keadaan baik buruk
pemerintahan yang terjadi, media yang tidak bisa dikooptasi
penguasa. Menurut Joseph Pulitzer, jurnalistik membutuhkan orang-orang
yang berani dan bermoral. Dengan bersandar pada keberaniaan tersebut, akan
didapatkan informasi, fakta-fakta kejadian dari pers.
Perlu dipahami bahwa, keberadaan media ditengah
masyarakat juga menjadi bagian dari konstruksi sosial. Kontruksi tersebut lahir
dari adanya media yang menghadirkan informasi-informasi. Sehingga muncul
tindakan komunikatif; pengetahuan yang menjadi produk sosial; pengetahuan yang
bersifat kontekstual dan pengetahuan yang bersifat sarat “nilai”. Maka
konstruksi media massa tersebut pada akhirnya ikut andil dalam membentuk opini
publik.
Selain itu ada beberapa fungsi pers sebagai berikut:
·
Mengabarkan, salah satu fungsi utama pers adalah
mengabarkan. Informasi yang dikabarkan oleh pers akan memberi pengetahuan baru
bagi masyarakat.
·
Menyampaikan gagasan dan aspirasi, adanya pers ataupun
media, menjadi penyambung lidah bagi masyarakat dalam menyampaikan aspirasinya
kepada pemerintah, begitu pula sebaliknya.
·
Media propaganda, yakni menggerakkan masyarakat untuk
melakukan perubahan. Propaganda disini tidak hanya bisa diartikan “adu domba”.
·
Media penyeimbang, pers juga menjadi jembatan
penyeimbang antara satu pihak dengan pihak lain; antara rakyat dan pejabat.
Peranan
:
·
Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui
·
Menegakkan nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi
hokum, dan HAM, serta menghormati kebhinekaan
·
Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat,
akurat dan benar
·
Melakukan pengawasa, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal
yang berkaitan dengan kepentingan umum
·
Memperjuangkan keadilan dan kebenaran
C.
Perkembangan Pers di Indonesia
1. Zaman Penjajahan Belanda
Perkembangan sejarah Jurnalistik di
Indonesia telah dimulai sejak zaman pemerintahan belanda (zaman
penjajahan). Menurut AS Haris Sumadiria (2005:11) yang dikutip dari
pendapat gurunya, Jurnalistik pers di Indonesia mulai dikenal pada abad 18,
tepatnya pada 1744. Ketika itu surat kabar bernamaBataviasche Nouvelles diterbitkan
dengan penguasaan orang-orang Belanda.
Selanjutnya pada 1776 di Jakarta
juga terbit surat kabar Vendu Niewsyang mengutamakan diri pada
berita pelelangan. Menginjak abad 19, terbit berbagai surat kabar lainnya yang
kesemuanya masih dikelola oleh orang-orang Belanda untuk pembaca orang Belanda
atau bangsa pribumi yang mengerti bahasa Belanda, yang pada umumnya merupakan
kelompok kecil saja.
Jurnalistik koran-koran Belanda ini,
jelas membawakan suara pemerintahan kolonial Belanda, sebagian sumber
menyatakan surat kabar tersebut dibuat untuk membela kaum kolonialis. Sedangkan
surat kabar pertama sebagai bacaan kaum pribumi dimulai pada tahun 1854 ketika
majalah Bianglala diterbitkan, disusul oleh Bromartani pada 1855, keduanya di
lahir di Weltevreden. Selanjutnya pada 1856 terbit Soerat Kabar Bahasa Melajoe
di Surabaya (Effendy, 2003: 104). Pada zaman ini pun, dibentuk
persatuan jurnalistik yang dikenal dengan nama Pers Kolonial, organisasi ini di
bentuk oleh para kolonial dan terus berkembang hingga abad ke 20.
Sejarah jurnalistik pers pada abad
20, menurut salah seorang guru besar ilmu komunikasi Universitas Padjadjaran (
Unpad) Bandung, ditandai dengan munculnya surat kabar pertama milik bangsa
Indonesia. Surat kabar tersebut bernama Medan Prijaji yang terbit di kota
Kembang, Bandung. Surat kabar tersebut lahir dengan modal dari bangsa Indonesia
untuk bangsa Indonesia.
Medan prijaji dimiliki dan dikelola
oleh Tirto Hadisurjo alias Raden Mas Djokomono. Pada tahun 1907, surak kabar
ini terbit mingguan, namun pada tiga tahun berikutnya yakni 1910 berubah
menjadi harian. Tirto Hadisurjo inilah yang dianggap sebagai pelopor yang
meletakkan dasar-dasar jurnalistik modern di Indonesia, baik dalam cara
pemberitaan maupun dalam cara pemuatan karangan dan iklan (Effendy, 2003:
104-105).
Selain Belanda, disamping itu
orang-orang keturunan thionghoa juga menggunakan surat kabar sebagai alat
pemersatu keturunan thionghoa yang berada di Indonesia. Surat-surat kabar yang
terbit pada era kolonial ini menggunakan bahasa Belanda, Cina
dan Jawa.
2. Zaman Perjuangan (Pergerakan)
Di zaman pergerakan surat-surat
kabar juga diterbitkan sebagai alat perjuangan seperti perkembangan di dunia
jurnalistik saat itu menjadi pendorong bangsa Indonesia dalam memperbaiki nasib
dan kedudukan bangsa. Harian yang terbit pada zaman itu antara lain
harian Sedio Tomo yang merupakan kelanjutan dari Budi Oetomo
di Yogjakarta tahun 1920, harian Darmo Kondo di Solo,
harian Utusan India yang terbit di Surabaya dan masih banyak
lagi.
3. Zaman Penjajahan Jepang
Beralih ke masa penjajahan Jepang,
pers Indonesia mengalami kemajuan dalam hal teknis. Namun pada masa itu, surat
izin penerbitan mulai diberlakukan. Surat-surat kabar yang diterbitkan dalam
bahasa Belanda banyak yang dimusnahkan. Penerbitan surat-surat kabar pun
mulai ketat dibawa pengawasan Jepang. Surat-surat kabar yang terbit pada masa
tersebut antara lain Asia Raya (Jakarta), Sinar
Baru (Semarang), Suara Asia (Surabaya), Tjahaya(Bandung).
Walaupun pengawasan jepang yang
begitu ketat dan mengekang, namun ada pelajaran-pelajaran berharga untuk dunia
jurnalistik Indonesia. Pengalaman karyawan-karyawan pers di Indonesia menjadi
bertambah. Rakyat semakin kritis dalam menanggapi informasi-informasi
yang beredar, penggunaan bahasa Indonesia pun semakin meluas.
4. Zaman Orde Lama
Lima tahun pasca kemerdekaan, pers
Indonesia tergoda dan hanyut dalam dunia politik praktis. Mereka lebih banyak
memerankan diri sebagai corong atau terompet partai-partai poltik besar. Inilah
yang disebut era pers partisan. Artinya pers dengan sadar memilih untuk menjadi
juru bicara sekaligus berperilaku seperti partai politik yang disukai dan
didukungnya.
Kebebasan pers di sini diartikan
sebagai bebas untuk memilih salah satu partai politik sebagai induk semang, dan
bukan bebas untuk meliput dan melaporkan apa saja yang harus dan ingin
diketahui oleh masyarkat luas. Dalam era ini pers Indonesia terjebak dalam pola
sektarian. Secara filosofis, pers tidak lagi mengabdi kepada kebenaran untuk
rakyat, melainkan kepada kemenangan untuk para pejabat partai.
Era pers partisan ternyata tidak
berlangsung lama. Sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959, pers nasional
memasuki masa gelap gulita. Setiap perusahaan penerbitan pers diwajibkan
memiliki Surat Izin Terbit (SIT). Bahkan menurut seorang pakar pers, 1 Oktober
1958 dapat dikatakan sebagai tanggal kematian kebebasan pers Indonesia
(Effendy, 2003: 108). Pada tanggal inilah, Penguasa Darurat Perang Daerah
(Paperda) Jakarta Raya, menetapkan batas akhir pendaftaran bagi seluruh
penerbitan pers untuk memperoleh Surat Izin Terbit (SIT).
Lebih parah lagi, ketika setiap
surat kabar diwajibkan menginduk (berafiliasi) pada organisasi politik atau
organisasi massa. Akibat kebijakan ini, tidak kurang dari 80 surat kabar pada
waktu itu dimiliki oleh sembilan partai politik dan organisasi massa. Baru
beberapa bulan peraturan itu berjalan, kemudian lahir peraturan baru yang
mempersempit ruang gerak para wartawan yang hendak mengeluarkan pikiran dan
pendapatnya. Klimaksnya adalah pemberontakan PKI pada 30 September 1965 dengan
nama G30S. Gerakan ini berhasil ditumpasoleh rakyat bersama TNI dan mahasiswa
(Effendy, 2003: 109-110).
5. Zaman Orde Baru
Pada awal kekuasaan orde baru,
Indonesia dijanjikan akan keterbukaan serta kebebasan dalam berpendapat.
Masyarakat saat itu bersuka-cita menyambut pemerintahan Soeharto yang
diharapkan akan mengubah keterpurukan pemerintahan orde lama. Pemerintah pada
saat itu harus melakukan pemulihan di segala aspek, antara lain aspek
ekonomi, politik, sosial, budaya, dan psikologis rakyat. Indonesia mulai
bangkit sedikit demi sedikit, bahkan perkembangan ekonomi pun semakin
pesat.
Selama dua dasawarsa pertama orde
baru, 1965-1985, kebebasan jurnalistik di Indonesia memang bisa disebut lebih
banyak bersinggungan dengan dimensi, unsur, nilai, dan ruh ekonomi daripada
dengan dimensi, unsur, nilai dan ruh politik. Sebagai sarana ekonomi, pers
dapat hidup dengan subur. Rumusnya hanya satu: jangan pernah bicara politik.
Orde baru sangat menyanjung ekonomi sekaligus sangat alergi dan bahkan membenci
politik. Pers yang menyentuh wilayah kekuasaan sama sekali tak dibenarkan dan
bisa berakhir dengan pembredelan.
Sejarah menunjukkan, dalam lima
tahun pertama kekuasaannya yang sangat represif dan hegemonik, orde baru bisa
disebut sangat bersahabat dengan pers. Pers itu sendiri seperti sedang
menikmati masa bulan madu kedua. Namun, dimana pun bulan madu hanyalah sesaat.
Dunia pers menghadapi kenyataan yang
sangat tragis. Pers yang seharusnya bersuka cita menyambut kebebasan
pada masa orde baru, malah sebaliknya. Pers mendapat berbagai tekanan dari
pemerintah. Tidak ada kebebasan dalam menerbitkan berita-berita miring seputar
pemerintah. Bila ada maka media massa tersebut akan mendapatkan peringatan
keras dari pemerintah yang tentunya akan mengancam penerbitannya.
Pada masa orde baru, segala
penerbitan di media massa berada dalam pengawasan pemerintah yaitu melalui
departemen penerangan. Bila ingin tetap hidup, maka media massa tersebut harus
memberitakan hal-hal yang baik tentang pemerintahan orde baru. Pers seakan-akan
dijadikan alat pemerintah untuk mempertahankan kekuasaannya, sehingga pers
tidak menjalankan fungsi yang sesungguhnya yaitu sebagai pendukung dan pembela
masyarakat.
“Pada masa orde baru pers Indonesia
disebut sebagai pers pancasila. Cirinya adalah bebas dan bertanggungjawab”
(Tebba, 2005 : 22). Namun pada kenyataannya tidak ada kebebasan sama sekali,
bahkan yang ada malah pembredelan. Tanggal 21 Juni 1994, beberapa media massa
seperti Tempo, deTIK, dan editor dicabut surat izin penerbitannya atau
dengan kata lain dibredel setelah mereka mengeluarkan laporan investigasi
tentang berbagai masalah penyelewengan oleh pejabat-pejabat Negara. Pembredelan
itu diumumkan langsung oleh Harmoko selaku menteri penerangan pada saat itu.
Meskipun pada saat itu
pers benar-benar diawasi secara ketat oleh pemerintah, namun ternyata
banyak media massa yang menentang politik serta kebijakan-kebijakan pemerintah.
Dan perlawanan itu ternyata belum berakhir. Tempo misalnya, berusaha
bangkit setelah pembredelan bersama para pendukungnya.
Pembredelan 1994 ibarat hujan, jika
bukan badai dalam ekologi politik Indonesia secara menyeluruh. Tidak baru,
tidak aneh dan tidak istimewa jika dipahami dalam ekosistemnya. (Aliansi
Jurnalis Independen, 1995 : 140). Sebelum dibredel pada 21 Juni 2004, Tempo
menjadi majalah berita mingguan yang paling penting di Indonesia. Pemimpin
Editornya adalah Gunawan Mohammad yang merupakan seorang panyair dan intelektual
yang cukup terkemuka di Indonesia.
Pada 1982 majalah Tempo pernah
ditutup untuk sementara waktu, karena berani melaporkan situasi pemilu saat itu
yang ricuh. Namun dua minggu kemudian, Tempo diizinkan kembali untuk terbit.
Pemerintah Orde Baru memang selalu was-was terhadap Tempo, sehingga majalah ini
selalu dalam pengawasan pemerintah.
Majalah ini memang terkenal dengan
independensinya yang tinggi dan juga keberaniannya dalam mengungkap fakta di
lapangan. Selain itu kritikan- kritikan Tempo terhadap pemerintah di tuliskan
dengan kata-kata yang pedas dan bombastis. Goenawan pernah menulis di majalah
Tempo, bahwa kritik adalah bagian dari kerja jurnalisme. Motto Tempo yang
terkenal adalah “ enak dibaca dan perlu”. Meskipun berani melawan pemerintah, namun
tidak berarti Tempo bebas dari tekanan. Apalagi dalam hal menerbitkan sebuah
berita yang menyangkut politik serta keburukan pemerintah, Tempo telah
mendapatkan berkali-kali maendapatkan peringatan. Hingga akhirnya Tempo harus
rela dibungkam dengan aksi pembredelan itu.
Namun perjuangan Tempo tidak
berhenti sampai disana. Pembredelan bukanlah akhir dari riwayat Tempo. Untuk
tetap survive, ia harus menggunakan trik dan startegi. Salah satu trik dan
strategiyang digunakan Tempo adalah yang pertama adalah mengganti kalimat aktif
menjadi pasif dan yang kedua adalah stategi pinjam mulut. Semua strategi itu
dilakukan Tempo untuk menjamin kelangsungannya sebagai media yang independen
dan terbuka. Tekanan yang datang bertubi-tubi dari pemerintah tidak meluluhkan
semangat Tempo untuk terus menyampaikan kebenaran kepada masyarakat.
Setelah pembredelan 21 Juni 1994,
wartawan Tempo aktif melakukan gerilya, seperti dengan mendirikan Tempo
Interaktif atau mendirikan ISAI (Institut Studi Arus Informasi) pada tahun 1995.
Perjuangan ini membuktikan komitmen Tempo untuk menjunjung kebebasan pers yang
terbelenggu ada pada zaman Orde Baru. Kemudian Tempo terbit kembali pada
tanggal 6 Oktober 1998, setelah jatuhnya Orde Baru.
6. Era Reformasi
Pada masa Orde Reformasi, era kebebasan
pers sangat dijunjung tinggi. Hal ini memunculkan lahirnya berbagai media massa
baru dan bahkan media lama yang pernah terkena pembreidelan oleh penguasa Orde
Baru seperti Koran Tempo telah terbit kembali. Dalam periode sejarah ini, pers
benar-benar mengalami kemajuan pesat. Langkah merger dan akuisisi ditempuh oleh
sejumlah perusahaan sebagai strategi bisnis media yang dinilai ampuh hingga
sekarang. Dari tahun 1998-2000 saja tercatat hampir 1.000 perusahaan media yang
mendapatkan izin terbit dari pemerintah, kendati hanya sedikit perusahaan media
yang bisa bertahan sebab terjadi kompetisi bisnis yang sangat ketat. Jumlah
media cetak pada awal tahun 1999 sebanyak 289 buah, dan pada tahun 2001 menjadi
1.881 buah.
Akhir tahun 2010, jumlah media cetak
menyusut menjadi 1.076 buah (Data Serikat Penerbit Surat Kabar, 2011). Surat
kabar dengan oplah tertinggi dipegang oleh Kompas dengan 600.000 eksemplar per
hari, Jawa Pos 450.000 eksemplar per hari, Suara Pembaruan 350.000 per hari,
Republika 325.000 eksemplar per ari, Media Indonesia 250.000 eksemplar per hari
dan Koran Tempo dengan 240.000 eksemplar per hari. Pada tahun 2002, jumlah
stasiun radio mencapai 873 buah. Pada tahun 2003, ada 11 stasiun televisi, 186
surat kabar harian, 245 surat kabar mingguan, 279 tabloid, 242 majalah dan 5
buletin (Gobel and Eschborn, 2005).
Lalu,
bagaimana peta industri media dalam skala global?
Fakta menunjukkan bahwa industri
media massa sedunia hanya dikuasai oleh 6 perusahaan media massa raksasa milik
Yahudi. Perusahaan tersebut adalah Vivende Universal, AOL Time Warner,
The Walt Disney Co., Bertelsmann AG, Viacom, dan News
Corporation. Enam konglomerasi media massa dunia tersebut menguasai 96
persen pasar media dunia (Ramdan, Anton A. 2009). Bahkan menurut Robert
W. Mc Chesney pada tahun 2000, penguasa media massa tinggal 3 perusahaan
raksasa (holdings), yang kemudian mereka disebut sebagai The Holy
Trinity of the Global Media System. Chesney merisaukan dampak dari adanya
kenyataan jika kekuataan media sebagai produsen budaya, produsen informasi
politik dan kekuatan ekonomi; terkonsentrasi pada beberapa orang saja (Chesney,
2000).
Namun seiring berjalannya waktu,
bisnis media cetak mengalami kerontokan. Berikut ini sederet realitas sosial
yang semakin menguatkan hegemoni industri media cetak tak sehebat (seampuh)
lagi, sebagaimana sebelum era teknologi internet dikomersialkan.
Pertama, gulung tikarnya perusahaan
koran tertua dan terbaik di AS sekaliber The New York Times mengalami
kolaps akhir tahun 2011. Kebangkrutan The New York Times memaksa
pihak manajemennya melego 16 surat kabar daerahnya kepada Halifax Media
Holdings senilai USD 143 juta. Langkah The New York Times menjual
asetnya untuk mengatasi beban utang. Dalam 9 bulan pertama 2011, pendapatan
iklan The New York Times turun 7 persen, atau hanya USD 190
juta. Padahal tahun 2010, pendapatan tahunan iklanThe New York Times setinggi
USD 2,4 miliar. Kini, The New York Times beralih ke bisnis media online (Kontan
edisi 29 Desember 2011).
Kedua, anjloknya jumlah oplah surat kabar
dengan oplah tertinggi sedunia, yang dipegang Yomiuri Shimbun (surat kabar di
Jepang). Di mana oplahnya mencapai 10 juta eksemplar per hari. Dalam The
33rd NSK-CAJ Fellowship Program di Nippon Press Centre (Senin,
24/9/2012), terungkap industri pers Jepang pun tengah mengalami masalah besar.
Sebab generasi muda Jepang (usia 20-30 tahun) tidak pernah membaca koran.
Menurut Mr Masaki Satsuka, Director of Editorial, Technology and
International Affairs Committee of NSK, ketidakmauan generasi muda Jepang
membaca koran berdampak negatif pada oplah koran. Dampaknya, menurunkan jumlah
oplah koran 1-2 juta eksemplar (Kedaulatan Rakyat edisi 25 September 2012).
Ketiga, beralihnya majalah Newsweek ke
versi online mulai awal Januari 2013 kemarin, karena sejak
tahun 2010 merugi sampai USD 40 juta. Pemimpin Redaksi majalah Newsweek, Tina
Brown mengumumkan bahwa Newsweek akan beralih versi online dengan
nama Newsweek Global. Kebijakan tersebut untuk menekan ongkos cetak
dan distribusi serta diorientasikan bagi 70 juta pengguna komputer jinjing di
AS (Kompas edisi 20 Oktober 2012).
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Fungsi dan peranan pers yaitu memberikan layanan terhadap hak
masyarakat untuk mengetahui, menegakkan nilai-nilai demokrasi dan mendorong
terwujudnya demokratisasi, mendorong tegaknya supremasi hukum,dan tegaknya
jaminan HAM. Pers juga berperan mengembangkan pendapat umum berdasar informasi
yang tepat, akurat, dan benar.
Kegiatan jurnalistik pers di
Indonesia sudah terjadi sejak zaman penjajahan Belanda. Ditandai dengan
lahirnya surat kabar pertama bernamaBataviasche Nouvelles yang
diterbitkan dengan penguasaan orang-orang Belanda. Selanjutnya memasuki masa
perjuangan, pers surat-surat kabar juga diterbitkan sebagai alat perjuangan
seperti perkembangan di dunia jurnalistik saat itu menjadi pendorong bangsa
Indonesia dalam memperbaiki nasib dan kedudukan bangsa. Kemudian pers menjadi
lebih maju ketika berada di bawah pemerintahan kolonial Jepang.
Pada zaman orde lama dan orde baru,
pers mengalami pasang surut. Beberapa kali pers mengalami pembredelan dari
pemerintah, terlebih pada rezim Soeharto yang terkenal otoriter. Memasuki era
reformasi media massa kembali melebarkan sayapnya karena mendapatkan kebebasan
dari pemerintah dengan menganut nilai-nilai idelisme dan independensi. Hal ini
menjadikan banyaknya media massa lahir di seluruh penjuru tanah air dari cetak
hingga elektronik.
B.
Saran
Saran penulis adalah agar masyarakat dapat mengetahui
tentang fungsi dan peranan pers dalam menjalankan tugasnya, dan agar masyarakat
juga mengetahui bahwa dalam kerja pers juga diikat oleh Undang-undang dan tidak
bekerja dengan semena-mena. Masyarakat harus tahu bahwa pers memikul tanggung
jawab atau beban yang sangat berat.
DAFTAR
PUSTAKA
http://www.primasiswa.com/posts/317/semester-2-bab-1-peranan-pers-dalam-kehidupan-masyarakat-demokrasi
http://rosyiedrai.wordpress.com/makalah/peranan-pers-dalam-masyarakat-demokrasi/
http://seberkascatatanfitri.blogspot.com/2013/09/v-behaviorurldefaultvmlo_19.html
http://lpunrt.blogspot.com/2012/03/makalah-pers.html#axzz3D75eTDxy
No comments :
Post a Comment