iklan

Tuesday, 2 December 2014

makalah pers

MAKALAH
PERS
DI

S
U
S
U
N

OLEH



SMA NEGERI 01 NANGA PINOH
TAHUN AJARAN
2014/2015

KATA PENGANTAR


Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik dan Hinayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca.

Harapan saya semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca tentang “Pers”, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.

Makalah ini saya akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang saya miliki sangat kurang. Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.


Nanga Pinoh,      September 2014


Penyusun


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................................... i
DAFTAR ISI........................................................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang........................................................................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah....................................................................................................................... 1
C.     Tujuan Penulisan......................................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian Pers........................................................................................................................... 2
B.     Fungsi dan Peran Pers Dalam Masyarakat Demokrasi............................................................... 3
C.     Perkembangan Pers di Indonesia................................................................................................ 3
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan................................................................................................................................. 7
B.     Saran........................................................................................................................................... 7
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................................... 8

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Media memiliki peranan penting sebagai katalisator dalam masyarakat (Lasswell, 1934), bahkan teoretisi Marxis melihatmedia massa sebagai piranti yang sangat kuat (a powerfull tool). Namun seiring dengan semakin beragamnya media dan semakin berkembangnya masyarakat, kebenaran teori-teori tersebut menjadi diragukan.
Pers No. 40 Tahun 1999 dan UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002 kemudian ditetapkan untuk menjamin kebebasan dan independensi media massa. Media massa yang terjamin kebebasan dan independensinya pada gilirannya menguntungkan semuanya, baik negara maupun masyarakat. Walaupun seringkali dianggap merugikan kepentingan-kepentingan politik tertentu.
Media massa dipandang punya kedudukan strategis dalam masyarakat. Secara konseptual, keberadaan media massa dan masyarakat perlu dilihat secara bertimbal balik. Untuk itu ada 2 pandangan yaitu apakah media massa membentuk (moulder) atau mempengaruhi masyarakat, ataukah sebaliknya sebagai cermin (mirror) atau dipengaruhi oleh realitas masyarakat.
Albert Camus, novelis terkenal dari Perancis pernah mengatakan bahwa pers bebas dapat baik dan dapat buruk, namun tanpa pers bebas, yang ada hanya celaka. Oleh karena salah satu fungsinya ialah melakukan kontrol sosial, pers melakukan kritik dan koreksi terhadap segala sesuatu yang menrutnya tidak beres dalam segala persoalan. Karena itu, ada anggapan bahwa pers lebih suka memberitakan hah-hal yang salah daripada yang benar. Pandangan seperti itu sesungguhnya melihat peran dan fungsi pers tidak secara komprehensif, melainkan parsial dan ketinggalan jaman.Karena kenyataannya, pers sekarang juga memberitakan keberhasilan seseorang, lembaga pemerintahan atau perusahaan yang meraih kesuksesan serta perjuangan mereka untuk tetap hidup di tengah berbagai kesulitan.
Berdasarkan uraian diataslah penulis menyusun karya tulis ini agar pembaca lebih memahami arti dan peranan pers itu.

B.       Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian, fungsi dan peran pers dalam masyarakat demokrasi
2.      Bagaimana perkembangan pers di Indonesia ?

C.      Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui pengertian, fungsi dan peran pers dalam masyarakat demokrasi
2.      Untuk mengetahui perkembangan pers di Indonesia



BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Pers
Istilah “pers” berasal dari bahasa Belanda, yang dalam bahasa Inggris berarti press. Secara harfiah pers berarti cetak dan secara maknawiah berarti penyiaran secara tercetak atau publikasi secara dicetak (printed publication).
Dalam perkembangannya pers mempunyai dua pengertian, yakni pers dalam pengertian luas dan pers dalam pengertian sempit. Dalam pengertian luas, pers mencakup semua media komunikasi massa, seperti radio, televisi, dan film yang berfungsi memancarkan/ menyebarkan informasi, berita, gagasan, pikiran, atau perasaan seseorang atau sekelompok orang kepada orang lain. Maka dikenal adanya istilah jurnalistik radio, jurnalistik televisi, jurnalistik pers. Dalam pengertian sempit, pers hanya digolongkan produk-produk penerbitan yang melewati proses percetakan, seperti surat kabar harian, majalah mingguan, majalah tengah bulanan dan sebagainya yang dikenal sebagai media cetak.
B.       Fungsi dan Peran Pers Dalam Masyarakat Demokrasi
Fungsi dan peran pers dalam masyarakat demokrasi sangat besar. Pers dan media massa telah banyak memberikan jasanya terhadap masyarakat Indonesia, terlebih pasca reformasi yang menjamin kebabasan pers. Masyarakat dengan mudah mendapat kabar berita baik cetak maupun eloktronik. Hal tersebut tentu akan membantu masyarakat dalam beberapa aspek yang mencakup lini kehidupan.
Prinsip sistem demokrasi dari rakyat (of the people), oleh rakyat (by the people) dan untuk rakyat (for people) yang kita eluh-eluhkan meniscayakan adanya pranata melalui pers. Sehingga pers juga ikut andil dalam proses demokrasi Indonesia. Sebagaimana disebutkan dalam undang-undang pers tahun 1999, bahwa fungsi pers adalah sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial serta sebagai lembaga ekonomi. Fungsi pers sebagai kontrol sosial “social control”, mengandaikan bahwa pers juga turut mengawal jalannya pemerintahan secara demokratis. Hal ini juga termaktub dalam pasal yang menerangkan peranan pers, yakni “menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati kebhinekaan”.
Mengacu pada landasan ideologi negara Indonesia, Pancasila. Maka, salah satu pokok ajaran penerapan ideologi Pancasila dalam kehidupan pers adalah, pers harus menjadi “mitra” pemerintah, yakni dengan memberi “kritik” terhadap pemerintah. Sayangnya berdasarkan pengalaman empiris, hal itu tidak terbukti keseluruhan. Keadaan tersebut dapat dianalisa, bahwa terjadi “kontrak etis” yang erat antara pers dan pemerintah. Sehingga, diperlukannya media yang dengan benar berani membeberkan keadaan baik buruk pemerintahan yang terjadi, media yang tidak bisa dikooptasi penguasa. Menurut Joseph Pulitzer, jurnalistik membutuhkan orang-orang yang berani dan bermoral. Dengan bersandar pada keberaniaan tersebut, akan didapatkan informasi, fakta-fakta kejadian dari pers.
Perlu dipahami bahwa, keberadaan media ditengah masyarakat juga menjadi bagian dari konstruksi sosial. Kontruksi tersebut lahir dari adanya media yang menghadirkan informasi-informasi. Sehingga muncul tindakan komunikatif; pengetahuan yang menjadi produk sosial; pengetahuan yang bersifat kontekstual dan pengetahuan yang bersifat sarat “nilai”. Maka konstruksi media massa tersebut pada akhirnya ikut andil dalam membentuk opini publik.
Selain itu ada beberapa fungsi pers sebagai berikut:
·       Mengabarkan, salah satu fungsi utama pers adalah mengabarkan. Informasi yang dikabarkan oleh pers akan memberi pengetahuan baru bagi masyarakat.
·       Menyampaikan gagasan dan aspirasi, adanya pers ataupun media, menjadi penyambung lidah bagi masyarakat dalam menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah, begitu pula sebaliknya.
·       Media propaganda, yakni menggerakkan masyarakat untuk melakukan perubahan. Propaganda disini tidak hanya bisa diartikan “adu domba”.
·       Media penyeimbang, pers juga menjadi jembatan penyeimbang antara satu pihak dengan pihak lain; antara rakyat dan pejabat.
Peranan :
·       Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui
·       Menegakkan nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hokum, dan HAM, serta menghormati kebhinekaan
·       Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar
·       Melakukan pengawasa, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum
·       Memperjuangkan keadilan dan kebenaran

C.      Perkembangan Pers di Indonesia
1.    Zaman Penjajahan Belanda
Perkembangan sejarah Jurnalistik di Indonesia telah dimulai sejak  zaman pemerintahan belanda (zaman penjajahan). Menurut  AS Haris Sumadiria (2005:11) yang dikutip dari pendapat gurunya, Jurnalistik pers di Indonesia mulai dikenal pada abad 18, tepatnya pada 1744. Ketika itu surat kabar bernamaBataviasche Nouvelles diterbitkan dengan penguasaan orang-orang Belanda.
Selanjutnya pada 1776 di Jakarta juga terbit surat kabar Vendu Niewsyang mengutamakan diri pada berita pelelangan. Menginjak abad 19, terbit berbagai surat kabar lainnya yang kesemuanya masih dikelola oleh orang-orang Belanda untuk pembaca orang Belanda atau bangsa pribumi yang mengerti bahasa Belanda, yang pada umumnya merupakan kelompok kecil saja.
Jurnalistik koran-koran Belanda ini, jelas membawakan suara pemerintahan kolonial Belanda, sebagian sumber menyatakan surat kabar tersebut dibuat untuk membela kaum kolonialis. Sedangkan surat kabar pertama sebagai bacaan kaum pribumi dimulai pada tahun 1854 ketika majalah Bianglala diterbitkan, disusul oleh Bromartani pada 1855, keduanya di lahir di Weltevreden. Selanjutnya pada 1856 terbit Soerat Kabar Bahasa Melajoe di Surabaya (Effendy, 2003: 104).  Pada zaman ini pun, dibentuk persatuan jurnalistik yang dikenal dengan nama Pers Kolonial, organisasi ini di bentuk oleh para kolonial dan terus berkembang hingga abad ke 20.
Sejarah jurnalistik pers pada abad 20, menurut salah seorang guru besar ilmu komunikasi Universitas Padjadjaran ( Unpad) Bandung, ditandai dengan munculnya surat kabar pertama milik bangsa Indonesia. Surat kabar tersebut bernama Medan Prijaji yang terbit di kota Kembang, Bandung. Surat kabar tersebut lahir dengan modal dari bangsa Indonesia untuk bangsa Indonesia.
Medan prijaji dimiliki dan dikelola oleh Tirto Hadisurjo alias Raden Mas Djokomono. Pada tahun 1907, surak kabar ini terbit mingguan, namun pada tiga tahun berikutnya yakni 1910 berubah menjadi harian. Tirto Hadisurjo inilah yang dianggap sebagai pelopor yang meletakkan dasar-dasar jurnalistik modern di Indonesia, baik dalam cara pemberitaan maupun dalam cara pemuatan karangan dan iklan (Effendy, 2003: 104-105).
Selain Belanda, disamping itu  orang-orang keturunan thionghoa juga  menggunakan surat kabar sebagai alat pemersatu keturunan thionghoa yang berada di Indonesia. Surat-surat kabar yang terbit pada era kolonial  ini menggunakan   bahasa Belanda, Cina dan Jawa.
2.    Zaman Perjuangan (Pergerakan)
Di zaman pergerakan surat-surat kabar juga diterbitkan sebagai alat perjuangan seperti perkembangan di dunia jurnalistik saat itu menjadi pendorong bangsa Indonesia dalam memperbaiki nasib dan kedudukan bangsa. Harian  yang terbit pada zaman itu antara lain harian Sedio Tomo yang merupakan kelanjutan dari Budi Oetomo di Yogjakarta tahun 1920, harian Darmo Kondo di Solo, harian Utusan India yang terbit di Surabaya dan masih banyak lagi.
3.    Zaman Penjajahan Jepang
Beralih ke masa penjajahan Jepang, pers Indonesia mengalami kemajuan dalam hal teknis. Namun pada masa itu, surat izin penerbitan mulai diberlakukan. Surat-surat kabar yang diterbitkan dalam bahasa  Belanda banyak yang dimusnahkan. Penerbitan surat-surat kabar pun mulai ketat dibawa pengawasan Jepang. Surat-surat kabar yang terbit pada masa tersebut antara lain Asia Raya (Jakarta), Sinar Baru (Semarang), Suara Asia (Surabaya), Tjahaya(Bandung).
Walaupun pengawasan jepang yang begitu ketat dan mengekang, namun ada pelajaran-pelajaran berharga untuk dunia jurnalistik Indonesia. Pengalaman karyawan-karyawan pers di Indonesia menjadi bertambah. Rakyat semakin  kritis dalam menanggapi informasi-informasi yang beredar, penggunaan bahasa Indonesia pun semakin meluas.

4.    Zaman Orde Lama
Lima tahun pasca kemerdekaan, pers Indonesia tergoda dan hanyut dalam dunia politik praktis. Mereka lebih banyak memerankan diri sebagai corong atau terompet partai-partai poltik besar. Inilah yang disebut era pers partisan. Artinya pers dengan sadar memilih untuk menjadi juru bicara sekaligus berperilaku seperti partai politik yang disukai dan didukungnya.
Kebebasan pers di sini diartikan sebagai bebas untuk memilih salah satu partai politik sebagai induk semang, dan bukan bebas untuk meliput dan melaporkan apa saja yang harus dan ingin diketahui oleh masyarkat luas. Dalam era ini pers Indonesia terjebak dalam pola sektarian. Secara filosofis, pers tidak lagi mengabdi kepada kebenaran untuk rakyat, melainkan kepada kemenangan untuk para pejabat partai.
Era pers partisan ternyata tidak berlangsung  lama. Sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959, pers nasional memasuki masa gelap gulita. Setiap perusahaan penerbitan pers diwajibkan memiliki Surat Izin Terbit (SIT). Bahkan menurut seorang pakar pers, 1 Oktober 1958 dapat dikatakan sebagai tanggal kematian kebebasan pers Indonesia (Effendy, 2003: 108). Pada tanggal inilah, Penguasa Darurat Perang Daerah (Paperda) Jakarta Raya, menetapkan batas akhir pendaftaran bagi seluruh penerbitan pers untuk memperoleh Surat Izin Terbit (SIT).
Lebih parah lagi, ketika setiap surat kabar diwajibkan menginduk (berafiliasi) pada organisasi politik atau organisasi massa. Akibat kebijakan ini, tidak kurang dari 80 surat kabar pada waktu itu dimiliki oleh sembilan partai politik dan organisasi massa. Baru beberapa bulan peraturan itu berjalan, kemudian lahir peraturan baru yang mempersempit ruang gerak para wartawan yang hendak mengeluarkan pikiran dan pendapatnya. Klimaksnya adalah pemberontakan PKI pada 30 September 1965 dengan nama G30S. Gerakan ini berhasil ditumpasoleh rakyat bersama TNI dan mahasiswa (Effendy, 2003: 109-110).
5.    Zaman Orde Baru
Pada awal kekuasaan orde baru, Indonesia dijanjikan akan keterbukaan serta kebebasan dalam berpendapat. Masyarakat saat itu bersuka-cita menyambut pemerintahan Soeharto yang diharapkan akan mengubah keterpurukan pemerintahan orde lama. Pemerintah pada saat itu harus melakukan pemulihan di segala aspek, antara lain aspek ekonomi, politik, sosial, budaya, dan psikologis rakyat. Indonesia mulai bangkit sedikit demi sedikit, bahkan perkembangan ekonomi pun semakin pesat. 
Selama dua dasawarsa pertama orde baru, 1965-1985, kebebasan jurnalistik di Indonesia memang bisa disebut lebih banyak bersinggungan dengan dimensi, unsur, nilai, dan ruh ekonomi daripada dengan dimensi, unsur, nilai dan ruh politik. Sebagai sarana ekonomi, pers dapat hidup dengan subur. Rumusnya hanya satu: jangan pernah bicara politik. Orde baru sangat menyanjung ekonomi sekaligus sangat alergi dan bahkan membenci politik. Pers yang menyentuh wilayah kekuasaan sama sekali tak dibenarkan dan bisa berakhir dengan pembredelan.
Sejarah menunjukkan, dalam lima tahun pertama kekuasaannya yang sangat represif dan hegemonik, orde baru bisa disebut sangat bersahabat dengan pers. Pers itu sendiri seperti sedang menikmati masa bulan madu kedua. Namun, dimana pun bulan madu hanyalah sesaat.
Dunia pers menghadapi kenyataan yang sangat tragis.  Pers yang seharusnya bersuka cita menyambut kebebasan pada masa orde baru, malah sebaliknya. Pers mendapat berbagai tekanan dari pemerintah. Tidak ada kebebasan dalam menerbitkan berita-berita miring seputar pemerintah. Bila ada maka media massa tersebut akan mendapatkan peringatan keras dari pemerintah yang tentunya akan mengancam penerbitannya.
Pada masa orde baru, segala penerbitan di media massa berada dalam pengawasan pemerintah yaitu melalui departemen penerangan. Bila ingin tetap hidup, maka media massa tersebut harus memberitakan hal-hal yang baik tentang pemerintahan orde baru. Pers seakan-akan dijadikan alat pemerintah untuk mempertahankan kekuasaannya, sehingga pers tidak menjalankan fungsi yang sesungguhnya yaitu sebagai pendukung dan pembela masyarakat.
“Pada masa orde baru pers Indonesia disebut sebagai pers pancasila. Cirinya adalah bebas dan bertanggungjawab” (Tebba, 2005 : 22). Namun pada kenyataannya tidak ada kebebasan sama sekali, bahkan yang ada malah pembredelan. Tanggal 21 Juni 1994, beberapa media massa seperti Tempo, deTIK, dan editor dicabut surat izin penerbitannya atau dengan kata lain dibredel setelah mereka mengeluarkan laporan investigasi tentang berbagai masalah penyelewengan oleh pejabat-pejabat Negara. Pembredelan itu diumumkan langsung oleh Harmoko selaku menteri penerangan pada saat itu.
Meskipun pada saat itu pers benar-benar diawasi secara ketat oleh pemerintah, namun ternyata banyak media massa yang menentang politik serta kebijakan-kebijakan pemerintah. Dan perlawanan itu ternyata belum berakhir. Tempo misalnya, berusaha bangkit setelah pembredelan bersama para pendukungnya.
Pembredelan 1994 ibarat hujan, jika bukan badai dalam ekologi politik Indonesia secara menyeluruh. Tidak baru, tidak aneh dan tidak istimewa jika dipahami dalam ekosistemnya. (Aliansi Jurnalis Independen, 1995 : 140). Sebelum dibredel pada 21 Juni 2004, Tempo menjadi majalah berita mingguan yang paling penting di Indonesia. Pemimpin Editornya adalah Gunawan Mohammad yang merupakan seorang panyair dan intelektual yang cukup terkemuka di Indonesia.
Pada 1982 majalah Tempo pernah ditutup untuk sementara waktu, karena berani melaporkan situasi pemilu saat itu yang ricuh. Namun dua minggu kemudian, Tempo diizinkan kembali untuk terbit. Pemerintah Orde Baru memang selalu was-was terhadap Tempo, sehingga majalah ini selalu dalam pengawasan pemerintah.
Majalah ini memang terkenal dengan independensinya yang tinggi dan juga keberaniannya dalam mengungkap fakta di lapangan. Selain itu kritikan- kritikan Tempo terhadap pemerintah di tuliskan dengan kata-kata yang pedas dan bombastis. Goenawan pernah menulis di majalah Tempo, bahwa kritik adalah bagian dari kerja jurnalisme. Motto Tempo yang terkenal adalah “ enak dibaca dan perlu”. Meskipun berani melawan pemerintah, namun tidak berarti Tempo bebas dari tekanan. Apalagi dalam hal menerbitkan sebuah berita yang menyangkut politik serta keburukan pemerintah, Tempo telah mendapatkan berkali-kali maendapatkan peringatan. Hingga akhirnya Tempo harus rela dibungkam dengan aksi pembredelan itu.
Namun perjuangan Tempo tidak berhenti sampai disana. Pembredelan bukanlah akhir dari riwayat Tempo. Untuk tetap survive, ia harus menggunakan trik dan startegi. Salah satu trik dan strategiyang digunakan Tempo adalah yang pertama adalah mengganti kalimat aktif menjadi pasif dan yang kedua adalah stategi pinjam mulut. Semua strategi itu dilakukan Tempo untuk menjamin kelangsungannya sebagai media yang independen dan terbuka. Tekanan yang datang bertubi-tubi dari pemerintah tidak meluluhkan semangat Tempo untuk terus menyampaikan kebenaran kepada masyarakat.
Setelah pembredelan 21 Juni 1994, wartawan Tempo aktif melakukan gerilya, seperti dengan mendirikan Tempo Interaktif atau mendirikan ISAI (Institut Studi Arus Informasi) pada tahun 1995. Perjuangan ini membuktikan komitmen Tempo untuk menjunjung kebebasan pers yang terbelenggu ada pada zaman Orde Baru. Kemudian Tempo terbit kembali pada tanggal 6 Oktober 1998, setelah jatuhnya Orde Baru.
6.    Era Reformasi
Pada masa Orde Reformasi, era kebebasan pers sangat dijunjung tinggi. Hal ini memunculkan lahirnya berbagai media massa baru dan bahkan media lama yang pernah terkena pembreidelan oleh penguasa Orde Baru seperti Koran Tempo telah terbit kembali. Dalam periode sejarah ini, pers benar-benar mengalami kemajuan pesat. Langkah merger dan akuisisi ditempuh oleh sejumlah perusahaan sebagai strategi bisnis media yang dinilai ampuh hingga sekarang. Dari tahun 1998-2000 saja tercatat hampir 1.000 perusahaan media yang mendapatkan izin terbit dari pemerintah, kendati hanya sedikit perusahaan media yang bisa bertahan sebab terjadi kompetisi bisnis yang sangat ketat. Jumlah media cetak pada awal tahun 1999 sebanyak 289 buah, dan pada tahun 2001 menjadi 1.881 buah.
Akhir tahun 2010, jumlah media cetak menyusut menjadi 1.076 buah (Data Serikat Penerbit Surat Kabar, 2011). Surat kabar dengan oplah tertinggi dipegang oleh Kompas dengan 600.000 eksemplar per hari, Jawa Pos 450.000 eksemplar per hari, Suara Pembaruan 350.000 per hari, Republika 325.000 eksemplar per ari, Media Indonesia 250.000 eksemplar per hari dan Koran Tempo dengan 240.000 eksemplar per hari. Pada tahun 2002, jumlah stasiun radio mencapai 873 buah. Pada tahun 2003, ada 11 stasiun televisi, 186 surat kabar harian, 245 surat kabar mingguan, 279 tabloid, 242 majalah dan 5 buletin (Gobel and Eschborn, 2005).
Lalu, bagaimana peta industri media dalam skala global?
Fakta menunjukkan bahwa industri media massa sedunia hanya dikuasai oleh 6 perusahaan media massa raksasa milik Yahudi. Perusahaan tersebut adalah Vivende Universal, AOL Time Warner, The Walt Disney Co., Bertelsmann AG, Viacom, dan News Corporation. Enam konglomerasi media massa dunia tersebut menguasai 96 persen pasar media dunia (Ramdan, Anton A. 2009). Bahkan menurut Robert W. Mc Chesney pada tahun 2000, penguasa media massa tinggal 3 perusahaan raksasa (holdings), yang kemudian mereka disebut sebagai The Holy Trinity of the Global Media System. Chesney merisaukan dampak dari adanya kenyataan jika kekuataan media sebagai produsen budaya, produsen informasi politik dan kekuatan ekonomi; terkonsentrasi pada beberapa orang saja (Chesney, 2000).
Namun seiring berjalannya waktu, bisnis media cetak mengalami kerontokan. Berikut ini sederet realitas sosial yang semakin menguatkan hegemoni industri media cetak tak sehebat (seampuh) lagi, sebagaimana sebelum era teknologi internet dikomersialkan.
Pertama, gulung tikarnya perusahaan koran tertua dan terbaik di AS sekaliber The New York Times mengalami kolaps akhir tahun 2011. Kebangkrutan The New York Times memaksa pihak manajemennya melego 16 surat kabar daerahnya kepada Halifax Media Holdings senilai USD 143 juta. Langkah The New York Times menjual asetnya untuk mengatasi beban utang. Dalam 9 bulan pertama 2011, pendapatan iklan The New York Times turun 7 persen, atau hanya USD 190 juta. Padahal tahun 2010, pendapatan tahunan iklanThe New York Times setinggi USD 2,4 miliar. Kini, The New York Times beralih ke bisnis media online (Kontan edisi 29 Desember 2011).
Kedua, anjloknya jumlah oplah surat kabar dengan oplah tertinggi sedunia, yang dipegang Yomiuri Shimbun (surat kabar di Jepang). Di mana oplahnya mencapai 10 juta eksemplar per hari. Dalam The 33rd NSK-CAJ Fellowship Program di Nippon Press Centre (Senin, 24/9/2012), terungkap industri pers Jepang pun tengah mengalami masalah besar. Sebab generasi muda Jepang (usia 20-30 tahun) tidak pernah membaca koran. Menurut Mr Masaki Satsuka, Director of Editorial, Technology and International Affairs Committee of NSK, ketidakmauan generasi muda Jepang membaca koran berdampak negatif pada oplah koran. Dampaknya, menurunkan jumlah oplah koran 1-2 juta eksemplar (Kedaulatan Rakyat edisi 25 September 2012).
Ketiga, beralihnya majalah Newsweek ke versi online mulai awal Januari 2013 kemarin, karena sejak tahun 2010 merugi sampai USD 40 juta. Pemimpin Redaksi majalah Newsweek, Tina Brown mengumumkan bahwa Newsweek akan beralih versi online dengan nama Newsweek Global. Kebijakan tersebut untuk menekan ongkos cetak dan distribusi serta diorientasikan bagi 70 juta pengguna komputer jinjing di AS (Kompas edisi 20 Oktober 2012).






BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Fungsi dan peranan pers yaitu memberikan layanan terhadap hak masyarakat untuk mengetahui, menegakkan nilai-nilai demokrasi dan mendorong terwujudnya demokratisasi, mendorong tegaknya supremasi hukum,dan tegaknya jaminan HAM. Pers juga berperan mengembangkan pendapat umum berdasar informasi yang tepat, akurat, dan benar.
Kegiatan jurnalistik pers di Indonesia sudah terjadi sejak zaman penjajahan Belanda. Ditandai dengan lahirnya surat kabar pertama bernamaBataviasche Nouvelles yang diterbitkan dengan penguasaan orang-orang Belanda. Selanjutnya memasuki masa perjuangan, pers surat-surat kabar juga diterbitkan sebagai alat perjuangan seperti perkembangan di dunia jurnalistik saat itu menjadi pendorong bangsa Indonesia dalam memperbaiki nasib dan kedudukan bangsa. Kemudian pers menjadi lebih maju ketika berada di bawah pemerintahan kolonial Jepang.
Pada zaman orde lama dan orde baru, pers mengalami pasang surut. Beberapa kali pers mengalami pembredelan dari pemerintah, terlebih pada rezim Soeharto yang terkenal otoriter. Memasuki era reformasi media massa kembali melebarkan sayapnya karena mendapatkan kebebasan dari pemerintah dengan menganut nilai-nilai idelisme dan independensi. Hal ini menjadikan banyaknya media massa lahir di seluruh penjuru tanah air dari cetak hingga elektronik.

B.       Saran
Saran penulis adalah agar masyarakat dapat mengetahui tentang fungsi dan peranan pers dalam menjalankan tugasnya, dan agar masyarakat juga mengetahui bahwa dalam kerja pers juga diikat oleh Undang-undang dan tidak bekerja dengan semena-mena. Masyarakat harus tahu bahwa pers memikul tanggung jawab atau beban yang sangat berat.






DAFTAR PUSTAKA

http://www.primasiswa.com/posts/317/semester-2-bab-1-peranan-pers-dalam-kehidupan-masyarakat-demokrasi
http://rosyiedrai.wordpress.com/makalah/peranan-pers-dalam-masyarakat-demokrasi/ http://seberkascatatanfitri.blogspot.com/2013/09/v-behaviorurldefaultvmlo_19.html

http://lpunrt.blogspot.com/2012/03/makalah-pers.html#axzz3D75eTDxy

No comments :

Post a Comment