KATA
PENGANTAR
Alhamdulillah
penyusun ucapkan puji syukur kepada Allah SWT. Karena berkahan dan ridho-Nya,
penyusun bisa menyelesaikan makalah tepat pada waktunya.
Makalah
yang berjudul “Perkembangan Sosial dan Pribadi Anak”, kami susun
guna memenuhi tugas kuliah.
Tak lupa
juga nada terima kasih penyusun ucapkan kepada berbagai pihak yang telah ikut
berperan dalam penyusunan makalah ini. Penyusun ucapkan terima kasih yang
sebesarnya kepada:
1.
Ibu Aprima Tirsa, S.Pd selaku dosen yang
senantiasa membimbing kami para mahasiswanya.
2.
Para bloger yang tak henti-hentinya berbagi
ilmu dengan cara memposting artikel-artikel ke situs mereka.
3.
Teman-teman sekelas yang terkadang juga sering
mengajak untuk berdiskusi
Seperti
halnya manusia, makalah kami ini juga mempunyai banyak kekurangan, oleh karena
itu kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak yang telah
membaca demi perbaikan selanjutnya.
Akhir
kata, penyusun ucapkan semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.
Nanga
Pinoh, November 2014
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR........................................................................................... i
DAFTAR
ISI......................................................................................................... ii
BAB I
PENDAHULUAN.................................................................................... 1
A. Latar
Belakang........................................................................................... 1
B. Rumusan
Masalah...................................................................................... 2
C. Tujuan
Penulisan........................................................................................ 2
BAB II PERKEMBANGAN SOSIAL DAN PRIBADI
ANAK........................ 2
A. Perkembangan Sosioemosional dan Hubungan Pertemanan...................... 2
B. Perkembangan Identitas Diri...................................................................... 5
C. Perkembangan Kesadaran Identitas Jenis Kelamin.................................... 7
D. Perkembangan Moral.................................................................................. 8
E. Implikasi bagi Pengembangan Lingkungan Belajar yang
Kondusif.......... 8
BAB III
PENUTUP.............................................................................................. 10
A. Kesimpulan................................................................................................. 10
B. Saran........................................................................................................... 10
DAFTAR
PUSTAKA............................................................................................ 11
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan sosial merupakan pencapaian
kematangan dalam hubungan sosial. Dapat juga diartikan sebagai proses belajar
untuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma kelompok, moral, dan tradisi;
meleburkan diri menjadi suatu kesatuan dan saling berkomunikasi dan bekerja
sama.
Perkembangan sosial anak sangat
dipengaruhi oleh proses perlakuan atau bimbingan orangtua terhadap anak dalam
mengenalkan berbagai aspek kehidupan sosial, atau norma-norma kehidupan
bermasyarakat serta mendorong dan memberikan contoh kepada anaknya bagaimana
menerapkan norma-norma tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Proses bimbingan
orangtua ini lazim disebut sosialisasi.
Melalui pergaulan atau hubungan
sosial, baik dengan orang tua, anggota keluarga, orang dewasa lainnya maupun
teman bermainnya, anak mulai mengembangkan bentuk-bentuk tingkah laku sosial.
Pada usia anak, bentuk-bentuk tingkah laku sosial itu adalah pembangkangan (negativism), agresi (aggression),
berselisih/bertengkar (quarreling),
menggoda (teasing), persaingan (rivalry), kerja
sama (cooperation), tingkah laku berkuasa (ascendant behavior), mementingkan diri sendiri (selfishness), simpati (sympathy).
Perkembangan sosial anak sangat
dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya. Apabila lingkungan sosial tersebut
memfasilitasi atau memberikan peluang terhadap perkembangan anak secara
positif, maka anak akan dapat mencapai perkembangan sosialnya secara matang.
Namun, apabila lingkungan sosial itu kurang kondusif, seperti perlakuan orang
tua yang kasar, sering memarahi, acuh tak acuh, tidak memberikan bimbingan,
teladan, pengajaran atau pembiasaan terhadap anak dalam menerapkan norma-norma,
baik agama maupun tatakrama/budi pekerti, cenderung menampilkan perilaku maladjustment,
seperti : (1) minder, (2) senang mendominasi orang lain, (3) egois/selfish, (4) senang menyendiri, (5) kurang memiliki
sifat tenggang rasa, (6) kurang mempedulikan norma dalam berperilaku.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana perkembangan sosioemosional dan
hubungan pertemanan ?
2.
Bagaimana perkembangan identitas diri ?
3.
Bagaimana perkembangan kesadaran identitas
jenis kelamin ?
4.
Bagaimana perkembangan moral ?
5.
Bagaimana implikasi bagi pengembangan
lingkungan belajar yang kondusif ?
C. Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui perkembangan sosioemosional
dan hubungan pertemanan
2.
Untuk mengetahui perkembangan identitas diri
3.
Untuk mengetahui perkembangan kesadaran
identitas jenis kelamin
4.
Untuk mengetahui perkembangan moral
5.
Untuk mengetahui implikasi bagi pengembangan
lingkungan belajar yang kondusif
BAB II
PERKEMBANGAN SOSIAL DAN PRIBADI ANAK
A.
Perkembangan
Sosioemosional
dan Hubungan Pertemanan
1.
Perkembangan
Sosioemosional
Penjelasan
tentang bagaimana berkembangnya aspek sosioemosional
anak sebenarnya tergantung pada teori atau pandangan mana yang digunakan. Dalam
hal ini di kenal tiga pandangan utama yang menjelaskan fenomena perkembangan
sosioemosonal anak, yakniteori etologi, teori belajar-sosial, dan teori
kognisi.
Dalam
perkembangan sosiemosi anak ini ada beberapa faktor penting yang sangat berpengaruh,
yakni perlakuan dan cara pengasuhan orang tua, kesusuaian bayi dengan pengasuh,
dan temperamen bayi. Bila anak sudah memasuki sekolah, guru dan teman sebayanya
merupakan pihak lain yang secara signitifikan akan mempengaruhi aspek ini.
a.
Perlakuan
dan Cara Pengasuhan Orang Tua
Salah satu unsur yang sangat dominan pengaruhnya dalam
perkembangan sosioemosional anak, khususnya pada tahap-tahap awal perkembangan,
adalah perlakuan dan cara pengasuhan orang tua. Orang tua adalah orang yang
lazimnya memiliki paling banyak kesempatan untuk berinteraksi dengan anak.
Pengalamn-pengalaman interaksional awal anak dengan orang tua akan menjadi
dasar bagi pembentukan dan perkembangan pola-pola sosiemosional anak yang
bersangkutan.
Unsure lain yang juga akan memeperngaruhi perkembangan
sosioemosi anak adalah gaya pengasuhan orang tua. Secara garis besar, ada tiga
tipe gaya pengasuhan orang tua yaitu otoriter, permisif, dan otoritatif.
Masing-masing tipe ini akan memiliki dampak yang berbeda terhadap perkembangan
sosioemosi anak. Anak yang di besarkan pada keluarga yang otoriter akan
cenderung mudah kaget, agresif, kehilangan gairah, dan berprilaku slaah; anak
yang dibesarkan dalam keluarga permisif akan cenderung impulsive, kehilangan
control, tidak matang, tidak patuh, serta kurang berpartisipasi dalam permainan
dan interaksi social; dan anak yang di besarkan pada keluarga otoritatif akan
cenderung independen, percaya diri, dan memiliki rasa ingin tahu yang kuat.
b. Kesesuaian
anatar Bayi dan Pengasuh
Dalam
keluarga-keluarga modern, sering kali kehadiran pembantu rumah tangga atau
pengasuh anak merupakan suatu hal yang sangat diperlukan. Oleh karena itu, di
samping orang tua, pengasuh ini menjadi bagian penting dari kehidupan anak.
Dalam proses interaksi antara pengasuh dan anak, perilaku mereka bias saling
mempengaruhi dan menyesuaikan diri satu sama lain sehingga pada gilirannya
dapat menumbuhkan persesuaian perilaku di antara keduanya. Ketidakcocokan
antara perilaku pengasuh dan bayi bias menimbulkan dampak negative yang serius
dalam diri anak, seperti anak mangalami stress, murung, frustasi, dan bahkan
menimbulkan rasa kebencian.
c. Temperamen
Bayi
Interaksi
orang tua atau pengasuh dengan bayi dipengaruhi juga oleh unsure internal atau
factor klepribadia bayi. Akan tetapi, konsep kepribadian bayi masih terbatas
pada ekspresi dan respons terhadap stimulus lingkungan. Satu hal penting dari
unsure kepribadian bayi adalah temperamen, yakni cara berprilaku bayi yang di
pengaruhi oleh apek genetis dan lingkungan. Dalam hal ini, ada tiga gaya perilaku bayi yang
dapat di identifikasi, yaitu : bayi yang mudah, bayi yang sulit, dan bayi yang
lamban. Cirri bayi yang mudah adalah meliliki keteraturan, adaptif, bahagia,
dan mau mendekati objek atau orang baru. Bayi yang sulit cenderung tidak
teratur, tidak senang terhadap perubahan situasi, sering menangis, mnampakkan
perasaan negative. Bayi yang lamban cenderung kurang adaftif, menarik diri,
kurang aktif, dan intensitas respons kurang.
2.
Hubungan Pertemanan (Rekan Sebaya)
Salah
satu dimensi dan perkembangan
sosioemosional anak adalah hubungan pertemanan. Hubungan pertemanan di tandai
dengan semakin terlihatnya anak dalam aktivitas atau interaksi dengan teman
sebaya. Sekurang-kurangnya ada dua factor utama yang mendorong anak untuk
membangun hubungan pertemanan ini. Pertama adalah karena dikuasainya perangkat
keterampilan fisik dan komunikasi oleh anak sehingga memungkinkan ia untuk
lebih memperluas jaringan hubungan dengan orang lain. Kedua, karena kelompok
teman sebaya dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan social anak.
Dilihat
dari factor-faktor yang mempengaruhinya, sekurang-kurangnya ada lima unsure
determinan yang mempengarugi hubungan pertemanan ini, yakni kesamaan usia,
situasi, keakraban, ukuran kelompok, perkembangan kognisi. Salah satu bentuk
khusus dari hubungan pertemanan yang mungkin dialami oleh anak usia SD adalah
persahabatan. Persahabatan adalah hubungan yang intens dan lama antara dua atau
beberapa anak yang diwarnai oleh loyalitas, keintiman, dan saling menyayangi.
Terjalinnya persahabatan dapat di dorong oleh unsure kesamaan (usia, jenis
kelamin, ras, orientasi pendidikan, orientasi budaya dan sejenisnya), minat,
keterbukaan diri, saling berbagi informasi dan keinginan pemecahan masalah.
B.
Perkembangan
Identitas Diri (Self Identity)
Salah
satu unsure kepribadian terpenting adalah konsep diri ( self-concept), yakni
keseluruhan persepsi seseorang tentang dirinya—abilitas, perilaku, harga diri,
dan kepribadiannya. Konsep diri seseorang akan sangat mempengaruhi cara yang
bersangkutan melihat dan memperlakukan dirinya sendiri dan cara-cara ia
berinteraksi dengan lingkungannya. Konsep diri ini banyak dimensinya, namun
yang akan dideskripsikan di sini dibatasi pada penjelasan tentang konsep
identitas diri (self Identity) dari Erikson.
Erikson
berpendapat bahwa tema utama kehidupan ialah pencarian identitas. Identitas
diri seseorang ini tidak sekedar menyangkut pemahaman dan penerimaan dirinya
sendiri, melainkan selalu terkait pula dengan pemahaman dan penerimaan terhadap
masyarakat (lingkungan). Identitas pribadi seseorang terbentuk melalui
perkembangan proses krisis psikososial. Menurutnya, setiap individu akan
dihadapkan pada krisis-krisis kehidupan dalam setiap fase perkembangannya. Jika
kepribadian yang sehat atau terintegrasi dari kemampuan untuk menguasai
lingkungan. Sebaliknya, kalau seseorang gagal menyelesaikan krisis-krisis
tersebut, ia akan menjadi orang yang hanyut dalam arus kehidupan.
1.
Kepercayaan Lawan
Ketidakpercayaan (Basic Trust vs Basic Mistrust)
Kepercayaan
dasar (basic trust) ialah kepercayaan yang sifatnya fundamental pada diri bayi
kepada orang lain dan lingkungannya. Kepercayaan dasar ini juga mencakup
kepercayaan dan perasaan bahwa dirinya dipercayai dan bahwa ada keterkaitan
antara kebutuhan-kebutuhan dirinya dengan lingkungannya. Bayi yang memiliki
kepercayaan dasar dapat memperkirakan bahwa ibunya akan memberinya makan bila
ia lapar dan menghiburnya bila ia merasa sakit atau kesakitan. Ia dapat
memberikan toleransi bila ibunya tidak ada karena ia yakin bahwa ibunya akan
kembali.
2. Kemandirian
Lawan Malu dan Keraguan (Autonomy vs Shame and Doubt)
Dalam
membantu mengatasi krisis otonomi lawan malu dan keraguan, idealnya orang tua
menciptakan iklim yang mendukung anak untuk mengembangkan control diri tanpa
harus kehilangan harga diri. Dan sangat diperlukan adanya keseimbangan antara
tuntutan tugas aktivitas yang dilakukan anak dengan taraf kemampuan anak serta
bantuan atau control dari pihak orang tua. Anak yang dipaksakan untuk melakukan
tugas-tugas yang diluar kemampuannya sehingga banyak gagal, atau anak yang
terlalu dikendalikan sehingga kurang memiliki kesempatan, akan cenderung
mengembangkan sikap yang ragu-ragu atau takut dan malu dalam berbuat.
Sebaliknya, bila anak diberi kesempatan yang cukup dan sepadan dengan
kemampuannya serta mendapat bimbingan secara wajar, ia akan cenderung
mengembangkan sikap kemandiriannya.
3. Inisiatif
Lawan Merasa Berdosa (Initiative vs Guilt)
Krisis
ini terjadi pada anak umur 4-5 thn, anak mengalami suatu gejala psikologis
untuk mengiden-tifikasikan diri dengan orang orang lain. Maka dari itu seorang
pribadi perlu mendapat gambaran tentang akan nmenjadi orang macam apa dirinya
kemudian hari. Jika anak cenderung mengembangkan sikap berdosa yang berlebihan,
akibanya bukan saja memiliki perasaan bersalah secara berlebihan, tetapi juga
akan diliputi oleh perasaan bahwa dirinya harus senantiasa melakukan sesuatu,
senantiasa bersaing dan senantiasa berbuat sesuatu agar dirinya mempunyai nilai
sebagai manusia.
4. Mampu
Berkarya Lawan Inferioritas (Industry vs Inferiority)
Pada
masa ini usia enam tahun hingga remaja, mereka mulai masuk sekolah tempat
mempelajari dan mengembangkan berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan yang
diperlukan untuk kepentingan hidupnya pada saat sekarang dan nanti. Mereka
sekarang di tuntut untuk menyelesaikan berbagai pekerjaan atau tugas dengan
baik. Pengalaman-pengalaman keberhasilan yang diperolehnya akan menumbuhkan
perasaan dan kepercayaan bahwa dirinya mampu berkarya atau menyelesaikan sesuatu.
Sebaliknya, kalau pada masa ini anak mengalami banyak kegagalan apalagi
disertai dengan cemoohan, ia akan merasa tidak percaya terhadap kemampuan yang
dimilikinya sehingga cenderung merasa inferior atau merasa bahwa dirinya tidak
berarti.
C.
Perkembangan
Kesadaran Identitas Jenis Kelamin (Gender Identity)
Kesadaran
identitas jenis kelamin adalah kesadaran anak tentang konsep peran pria dan
wanita dalam kehidupan. Peran jenis kelamin (pria-wanita) merujuk kepada
dimensi social biologis pria dan wanita yang berupa seperangkat harapan tentang
bagaimana seharusnya pria dan wanita berperilaku (berpikir, berbuat dan
merasa).
1. Perbedaan
Peran Jenis Kelamin
Dalam
segi social dan kepribadian, pria cenderung lebih agresif dan aktif, sedangkan
wanita lebih mampu membaca emosi orang lain, toleran dan peduli. Dalam
menyelesaikan konflik, pria cenderung menggunakan kekuatan fisik, sedangkan
wanita menggunakan pendekatan persuasive dan kompromi. Umumnya wanita lebih
kooperatif, suka membantu, altruistic kepada teman dan guru.
2.
Pembentukan
Tipe Peran Jenis Kelamin
Pada
sasat kelahiran, perbedaan seks antara bayi laki-laki dan bayi perempuan yang
paling jelas adalah dalam hal anatomi seksual. Namun, beberapa perbedaan
biologis juga tampak pada saat itu. Bayi perempuan umunya lebih sehat dan cepat
berkembang daripada bayi laki-laki, meski kelihatannya agak lebih kecil dan
ringan. Ia juga menunjukkan koordinasi system saraf dan fisik secara lebih
baik.
3. Klasifikasi
Peran Jenis Kelamin
Dalam
perkembangan selanjutnya, mulai dilakukan eksplorasi terhadap alternative dan
konsep maskulin dan feminism yang melahirkan konsep androgini. Pria yang
androgini mungkin saja bersifat tegas (maskulin) dan penyayang (feminism); atau
wanita yang androgini mungkin bersifat dominan (maskulin), tapi juga sensitive
(feminism). Pria atau wanita yang androgini memiliki sifat feminism (ekspresif)
dan maskulin (instrumental). Orang yang androgini digambarkan lebih fleksibel
dan bermental kuat.
D.
Perkembangan
Moral
Dalam
kehidupan social di masyarakat, anak akan berhadapan dengan ukuran-ukuran
yang menetukan benar-salah dan
baik-buruk dari suatu tingkah laku. Ukuran-ukuran tersebut dapat berupa tata
cara, kehiasan atau adat istiadat yang telah diterima oleh suatu masyarakat.
Aturan-aturan inilah biasanya dikaitkan dengan istilah moral. Dengan demikian,
pengertian moral mengacu kepada aturan-aturan umum mengenai baik-buruk dan
benar-salah yang berlaku di masyarakat secara luas. Atau dengan kata lain,
istilah moral ini berkenaan dengan bagaimana orang seharusnya berpeilaku dengan
dunia sosialnya. Anak di tuntut untuk mengetahui, memahami, dan mengikutinya.
Perubahan-perubahan dalam hal pengetahuan dan pemahaman aturan-aturan ini
dipandang sebagai perkembangan moral.
E. Implikasi
bagi Pengembangan Lingkungan Belajar yang Kondusif
Sekolah adalah lembaga pendidikan yang berfungsi untuk
memfasilitasi proses perkembangan anak secara menyeluruh. Tidak hanya aspek
pengetahuan dan intelektual anak yang perlu diperhatikan dan di bina, melainkan
keseluruhan aspek perkembangan, termasuk aspek psikologi.
Kasus-kasus lingkungan dan keluarga yang berdampak pada
anak, dapat berdampak negatif terhadap anak dalam aktivitas belajar dan
perkembangan nya, dan terjadinya kasus-kasus ini mengimplikasikan perlunya
perhatian dan penyediaan layanan bimbingan khusus dari pihak sekolah kepada
yang bersangkutan.
Hal yang perlu kita tekankan bahwa berbeda dengan
kegiatan-kegiatan pembelajaran yang berkenaan dengan aspek intelektual dan
keterampilan fisik, kegiatan pembelajaran emosi ini tidak bisa diceramahkan di
depan kelas. Yang lebih diperlukan adalah suasana lingkungan sekolah dan
pengakuan guru yang memberikan kesempatan kepada anak untuk menghayati dan
mengekspresikan pengalaman-pengalaman adalah suasana lingkungan sekolah dan perlakuan
guru yang memberikan kesempatan kepada anak untuk menghayati dan
mengekspresikan pengalaman-pengalaman emosionalnya secara wajar.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Melalui metode perkembangan sosial
dan pribadi anak penulis mampu menarik kesimpulan bahwa perkembangan sosial dan pribadi anak berperan
penting dalam kehidupan anak, selain itu juga berpengaruh pada dimensi 2 aspek
perkembangan yang lainnya.
Agar pengaruhnya dapat dikenali dan
ditanggapi secara positif, maka kita perlu meningkatkan pelayanan dan selalu
peka terhadap perkembangan sosial dan pribadi anak, baik secara pribadi maupun
menyeluruh.
B. Saran
Berdasarkan uraian di atas, maka
penulis mempunyai beberapa saran antara lain :
a.
Diharapkan guru-guru pendidikan anak
usia dini dapat memahami perkembangan sosial dan pribadi anak
sesuai dengan kebutuhan peserta didik.
b.
Diperlukan antusiasme guru dalam
menangani sikap individu tentang perubahan dan perkembangan sosial dan pribadi anak.
DAFTAR PUSTAKA
https://dinimiya.wordpress.com/2012/05/27/perkembangan-sosial-dan-kepribadian-anak/(Diakses pada hari senin, 10 November 2014 Jam 18:30 Wib)
Soemanti W. 2003. Prikologi
Pendidikan Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta.
Syaiful Bahri Djamarah. 2002. Psikologi Belajar, Jakarta :
Rineka Cipta.
No comments :
Post a Comment